Aaaaah
senangnya, akhirnya berkesempatan untuk ikut #30HariMenulisSuratCinta setelah
tahun lalu harus bersabar memandangi timeline yang dipenuhi re-tweet-an
surat-surat cinta yang bertebaran disertai tatapan iri sebab keterlambatan
mendaftar. Tapi sudahlah, yang penting hari ini saya bisa menulis surat cinta
yang pertama.
Biasanya,
yang pertama itu paling spesial. Iya benar, surat pertama ini memang spesial
untuk orang yang selama sembilan belas tahun terakhir ini menjadi ‘rumah’ saya.
Siapa lagi kalau bukan ayah dan ibu. Sejak saya masih bergelung dalam rahim
ibu, mereka telah menjadi ‘rumah’ abadi saya. Tak sekalipun saya luput dari
perhatiannya, hingga sebesar ini. Hingga beranjak sedewasa ini.
Ayah.
Ah tak ada kata yang paling pas jika menyebut ayah. Cinta ? Pun kalau ada
sesuatu yang berada lebih di atas cinta, itu milikku. Itu kupersembahkan untuk
lelaki ini, lelaki yang rela melindungiku dari segala sesuatu yang mungkin bisa
mengusik segala ketenanganku. Lelaki yang setiap harinya tanpa keluhan apa pun
rela menempuh jarak yang cukup berarti hanya untuk memberi kami nafkah
secukupnya. Untuk membiayai segala keperluanku, keperluan kedua adik
perempuanku dan masih banyak lagi yang lain yang mungkin tak pernah cukup. Maafkan
anakmu, Yah :’)
Ayah,
seorang lelaki yang walaupun dengan segala keterbatasannya, tak pernah
sekalipun memperdengarkan kata ‘tidak bisa’ kepada kami; kepada ibu, saya, dan
kedua adik perempuanku. Segala sesuatu dihadapi dengan penuh rasa optimis. Seolah
kekalahan itu tak akan pernah menghampirinya.
Ayah,
dengan segala kerendahan hati yang dimilikinya, tak pernah dalam hidupnya,
beliau memaksakan kehendaknya kepada anak-anaknya. Ayah selalu memberi
kebebasan penuh bagi anak-anaknya untuk memilih apa yang diinginkan dan apa
yang dianggap terbaik oleh kami sendiri. Yang terpenting katanya adalah
tanggung jawab terhadap pilihan sendiri.
Ayah,
betapa bangganya saya menjadi anakmu. Bangga dengan segala kesederhanaan
milikmu. Bangga dengan keoptimisan yang ayah punya. Maafkan kalau selama ini,
saya terlalu gengsi untuk mengatakan sayang secara langsung pada ayah. Tapi,
percayalah, Yah bahwa diam-diam, kasih sayang ini full untukmu.
Oh
iya, rasanya sangat tak lengkap jika membicarakan tentang ayah tapi tidak
membicarakan tentang ibu.
Ibu; Perempuan ini, perempuan yang menjadi
rumah serta surgaku. Perempuan yang begitu sederhana tampilannya, tapi tidak
dengan hati kecilnya. Meski parasnya biasa saja, namun nasihatnya menjadikannya
luar biasa di mata kami; anak-anaknya. Iya, perempuan ini adalah perempuan yang
rahimnya pernah menjadi tempatku berlindung sebelum benar-benar mengenal dunia
ini.
Ibu,
setiap pagi tak sekalipun absen membuatkan segelas teh untuk ayah dan segelas
kopi untuk saya. Tak pernah absen menyajikan sarapan pagi yang dibutuhkan oleh
anak-anaknya. Dan selama itu pula, tak pernah ada rentetan keluh kesah yang
keluar dari bibirnya. Padahal saya tahu bahwa menjadi ibu itu diperlukan kesabaran
yang benar-benar berada pada tingkatan paling atas. Bayangkan saja, ibu setiap
harinya selalu bangun tepat pada pukul 03.00. Lebih dulu mengambil air wudhu
lalu menunaikan salat tahajjud. Baru berhenti
saat Salat Subuh pun telah ditunaikannya. Dari situ, saya sadar bahwa ibu tak
pernah absen mendoakan anak-anaknya di sela-sela sujud panjangnya dan mungkin
di bawah linangan air matanya yang tak jarang terlihat oleh saya sendiri. Setelah
itu, saat saya masih saja malas-malasan di bawah hangatnya pelukan guling,
ternyata ibu telah selesai menjerang air hangat untuk membuatkan minuman di
pagi hari.
Entahlah,
saya tak pernah bisa membayangkan bagaimana jadinya jika ayah dan ibu tak ada. Bukan
persoalan rumah akan sepi, tapi seperti ada bagian dalam hati yang hilang saja.
Seperti ada sesuatu yang menuntut untuk selalu dicari-cari adanya. Dan
menyadari hal tersebut, saya pun meyakini bahwa ‘rumah’ yang selama ini saya
miliki adalah ‘rumah’ yang selalu membuat saya merasa sempurna. Yang membuat
saya merasa nyaman meski tak pernah luput dari persoalan kecil yang ada diluar ‘rumah’
itu sendiri. Saya bahagia, saya bersyukur karena memiliki ‘rumah’ seperti
mereka :)
0 komentar:
Posting Komentar