Kamis, 05 Februari 2015

Segala yang (bisa) Hilang

Diposting oleh Ratu Nur Faradhibah di Kamis, Februari 05, 2015 0 komentar
Bangun, mandi, sarapan, lalu bergegas kekantor. Semuanya seperti itu setiap hari, selalu terburu-buru seperti pagi. Kadang aku sebal mengingat hari selalu punya pagi, sebab pagi adalah satu-satunya yang mampu merebutmu dariku. Iya kan? Akuilah! Kadang kita tak lagi sempat menanyakan kegiatan satu sama lain di pagi hari, sebab kamu sibuk dan terlalu sibuk untuk menanyakannya kepadaku. Sebab kamu akan lelah dan terlalu lelah untuk mengabariku apa saja kegiatanmu sepanjang hari itu.
Aku tidak suka pagi. Pagi membuatmu berubah, dari seorang yang tenang menjadi terburu-buru. Dari seorang yang penuh perhatian menjadi cuek. Dari seorang yang kontrol emosinya bagus menjadi gampang emosi. Dari seorang yang selalu menjinakkan rindu menjadi acuh akan rindu. Kamu berubah, bukan karena kamu ingin kita berkenalan lalu saling jatuh cinta kembali. Bukan.
Padahal akhir-akhir ini, rindu berada pada kasta tertinggi. Kata seorang senior, rindu berada pada kasta tertinggi saat ia memutuskan untuk menyimpan sendiri. Namun, aku harus meminta maaf lebih awal jika nantinya aku tidak lagi peduli padamu dan segala yang berhubungan denganmu, itu saatnya kamu harus tahu bahwa rindu terbiasa kalah dari rasa “tahu diri”. Sebab tak ada yang pandai bersembunyi lama-lama, tidak juga rindu. Ia sesekali butuh kecup di kening lalu ia akan balas dengan cium di punggung telapak tanganmu. Sebab rindu serupa rumah yang membutuhkan penghuni. Tak ada penghuni, maka hancurlah rindu dikoyak diri sendiri. Begitulah rindu, ia terkadang membuatmu seperti semut, yang tetap akan memilih masuk dalam gelas berisi teh manis meski tahu nantinya ia akan berakhir mati tenggelam di dalam sana.

Aku tidak tahu kapan kamu tidak lagi mati rasa terhadap rindu. Yang aku takutkan bila nanti kamu mulai pulih dan sudah bukan aku yang akan ‘merawatmu’ sampai benar-benar pulih. Yang aku pikirkan bila nanti kamu mulai menagih rinduku dan ternyata semuanya telah raib, entah menguap atau apa. Tetapi, bila seperti itu, mungkin kita bisa saling menyadari bahwa sebaik apa pun ‘rumah’, jika ia telah memilih pergi, pasti akan pergi juga. Seperti cinta yang memilih pergi, sekuat apa pun kamu menahan atau sebagus apa pun janji yang kamu berikan padanya, jika ia pergi maka pergilah. Tak ada yang bisa bertahan dalam ketidakpastian. Tidak rindu, cinta, pun aku. 

Rabu, 04 Februari 2015

Lebih Pahit

Diposting oleh Ratu Nur Faradhibah di Rabu, Februari 04, 2015 0 komentar
We know the sound of two hands clapping. But what is the sound of one hand clapping?” – A Zen Koan

“Saya mau expresso satu, Mbak!”
“Small atau reguler?”
“Reguler. Saya duduk di meja pojok sana ya!”
Saya meninggalkan meja kasir sekaligus tempat pemesanan kopi sembari memainkan handphoneku. Hari itu aku tidak punya jadwal apa-apa. Kebetulan kampus sedang libur dan akhirnya aku memutuskan untuk duduk seharian di coffee shop yang baru buka di kotaku. Tempatnya cozy, tidak terlalu ramai. Mungkin karena masih pagi dan aku datangnya terlalu cepat.
Aku menempati meja paling pojok. Sengaja agar nanti jika pengunjung sudah mulai ramai, aku tetap mendapati ketenanganku di sini. Sekilas, kuperhatikan desain-desain ruangan tersebut. Ada banyak pajangan yang menempati dinding-dindingnya. Bukan lukisan seperti umumnya yang dipajang, melainkan penggalan-penggalan quotes yang bersifat menyemangati para pengunjung yang datang. Ah, hari ini, orang-orang lebih termotivasi dengan quote dibanding keadaan dan orang sekitarnya. Aku sendiri tipikal orang yang tidak terlalu menuhankan quote . Suka baca tetapi tidak juga menjadikannya sebagai sesuatu yang spesial.
Expressonya, Mba! Silahkan menikmati!” Tiba-tiba suara itu membuyarkan pikiranku. Ternyata, pesananku sudah datang. Perlahan, kusesap expressoku, menikmati setiap teguk demi teguk. Sudah berapa lama tidak ngopi? Sebulan...dua bulan...ah sepertinya memang sudah lama dan pilihanku untuk ngopi pada hari itu tidak keliru.
Hening.
Sunyi.
Aku suka suasananya. Seperti sedang berada di .....aku mencoba mengingat-ingat tempat tersepi yang pernah kudatangi tetapi tiba-tiba, grasak-grusuk seorang lelaki yang memasuki coffee shop membuatku menoleh. Ia mengenakan t-shirt Polo dan celana kargo. Di bahunya tersampir tas ransel dengan tulisan National Geographic yang cukup besar. Aku memperhatikan wajahnya, bentuk tubuhnya, dan juga stylenya. Kuperkirakan umurnya empat tahun lebih tua dariku.
Lelaki itu menempati meja di seberang mejaku. Ia membuka ranselnya dan mengeluarkan laptop serta kameranya serta meletakkan handphonenya tidak jauh dari kameranya. “Anak gadget rupanya,”  timpalku dalam hati. Setelah menaruh barang-barangnya di atas meja, ia bergegas memesan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang akan dipesannya, toh tidak penting juga. Kami tidak pernah bertemu sebelumnya dan ia bukan temanku.
Aku mengalihkan pandanganku keluar jendela. Tampak jalanan di depan coffee shop mulai padat. Maklum, hari ini weekend dan orang berlomba-lomba memanfaatkan waktu weekendnya mungkin untuk sekedar berjalan-jalan dengan orang-orang terdekatnya.  Bosan memandangi jalan raya, mataku kembali berputar, mencari objek menarik untuk diperhatikan. Tetapi, mengapa mataku harus berhenti di meja seberang? Tempat lelaki yang baru datang tadi.
Ia ada di sana, memandangi layar laptopnya dengan wajah yang lumayan serius. Sebelah tangannya memegangi cangkir kopi. Diam-diam kuperhatikan wajahnya, garis-garis muka yang terlihat begitu serius memberi kesan tersendiri saat aku mencuri-curi pandang, hidungnya yang mancung, bibir dengan bentuk yang pas, tidak terlalu tebal tapi juga tidak tipis. Dan sepasang mata berwarna coklat yang bening. Kalau boleh jujur, aku paling menyukai bagian matanya. Seksi. Iya, aku selalu suka dengan orang yang memiliki sepasang mata berwarna coklat dan belo. Meneduhkan seperti  berada di sebuah taman yang penuh dengan bunga-bunga bermekaran. Menentramkan seperti pelukan ibu di rumah.
Tiba-tiba, lelaki yang kupandangi itu, menoleh kepadaku. Terang saja, aku gelagapan. Aku lekas meraih cangkir kopiku lalu kuteguk pelan. Seolah-olah yang tadi adalah sebuah ketidaksengajaan. Dari ekor mataku, aku tahu ia cukup lama ia menoleh ke arahku, mungkin menerka-nerka mengapa aku tadi memandanginya dari sini. Dan setelah yakin bahwa ia sudah tak melihatku, aku menaruh cangkir kembali di atas meja.  Hampir saja.
Namun, harus kuakui bahwa ketidaksengajaan yang kulakukan kali ini adalah hal yang kunikmati dan membuatku mengulanginya berulang-ulang kali. Seperti tidak puas setelah tadi cukup lama memperhatikan wajahnya, kali ini aku memperhatikan kedua lengannya. Lengan yang besar  dibalut dengan kulit berwarna sawo matang membuatku menerka-nerka, seperti apa rasanya dipeluk oleh lengan yang seperti itu? Ah aku mulai meracau tidak jelas. Mana mungkin aku memikirkan hal seperti itu, aku sepertinya terlalu banyak nonton ftv.
Lalu, kudengar derit pintu coffee shop kembali. Seorang perempuan sebayaku masuk ke dalam coffee shop. Kuperhatikan perempuan itu, ia sama sepertiku, mengenakan jilbab dan juga berkacamata. Hanya saja bentuk tubuhnya sedikit lebih kecil dariku. Tingginya pun mungkin kira-kira hanya sebatas bahuku. Ia mengenakan baju kaos berwarna putih lalu dibungkus dengan cardigan fringe bermotif bunga. Manis. Warna jilbabnya senada dengan cardigan yang ia kenakan. Tapi tunggu dulu, perempuan itu melangkah ke meja seberang, tempat lelaki bermata cokelat itu duduk. Dan tanpa ragu, perempuan itu meletakkan tangannya di atas tangan lelaki itu sembari tersenyum simpul. Lelaki itu kemudian kulihat membalas senyumannya dan menarik kursi untuk perempuan itu duduk di sampingnya. Mereka tampak begitu akrab satu sama lain. Mataku tak henti-hentinya mencuri pandang ke arah meja mereka, mencoba mencuri dengar percakapan-percakapan kecil yang menimbulkan gelak tawa sederhana.
“Happy anniversary ya. Tahun ketiga kan?”
“Happy anniversary juga. Iya, tahun ketiga kita sama-sama. Semoga selalu seperti itu!”

Percakapan itu mampir begitu saja di telingaku. Aku berharap semoga telingaku sedang tidak berfungsi dengan baik sewaktu mendengar hal tersebut. Namun, setelah mendengar lebih jauh, aku tahu bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Dan tiba-tiba, lelaki itu mengelus pelan kepala perempuan yang dibalut jilbab berwarna merah muda. Bersamaan dengan itu, aku beranjak meninggalkan mejaku. Menyisakan expresso yang masih setengah cangkir. Aku tidak menghabiskannya sebab aku tahu, rasanya akan lebih pahit daripada ampas yang ada di dasar cangkir. 

Selasa, 03 Februari 2015

Kesibukanmu

Diposting oleh Ratu Nur Faradhibah di Selasa, Februari 03, 2015 2 komentar
How’s life today?
Seharusnya itu yang pertama kali kutanyakan saat kamu tiba di rumah selepas kerja. Lalu setelah itu, aku yakin kau akan bercerita panjang lebar tentang pekerjaanmu di kantor, tentang kemacetan Ibukota, tentang resepsionis kantor yang mungkin cantik (?), atau tentang apa saja yang menjadi pengisi harimu di sana setelah kita tidak lagi dalam satu kota yang sama.
Iya, seharusnya. Namun tidak kulakukan. Sebab aku tahu, kamu terlalu sibuk dan terlalu capek untuk menceritakan pengalamanmu di setiap harinya. Terkadang di sela-sela waktu kita saling bbm-an, kamu jatuh tertidur. Aku mengerti, mencoba memaklumi. Terkadang di sela-sela keseruan kita bercerita di bbm, kamu menghilang entah ke mana. Aku lagi-lagi mengerti, berusaha keras memaklumi.
Kamu sibuk.
Kita sibuk.
Dan perubahan-perubahan itu ada.
Kita tidak lagi menyediakan waktu untuk ‘kita’. Kita hanyalah sepasang yang saling bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan masing-masing, bersama siapa, dan di mana dalam bentang jarak yang bukan sekedar jarak seperti antara ruang tidurku dan kamar mandi. Bukan. Kita banyak berubah. Mulai dari kehilangan waktu bercerita berdua, waktu jalan-jalan berdua, dan segala yang pernah kita lewati bersama selama kurang lebih setahun belakangan ini. Tetapi, seseorang dalam akun Twitternya pernah berkata, “Suatu waktu kita akan saling tahu, cinta tidak melulu soal rindu. Tapi pikiran-pikiran yang ingin kita tuju.” Iya, dia benar. Kurang lebih enam bulan kita tidak sekota dan tidak pernah bertemu, membuatku kadang berpikir panjang bahwa cinta tidak melulu soal pertemuan atau laporan kangen yang menye-menye adanya. Tetapi cinta terkadang perihal pikiran-pikiran, rencana-rencana yang telah kita susun dari nol hingga sekarang, hingga hubungan ini hampir dua tahun adanya. Sebab, dengan mengingat hal tersebut, aku kembali sadar bahwa tidak seharusnya aku menuntut macam-macam kepadamu. Aku seharusnya menyemangatimu setiap harinya, hingga nanti kamu sadar bahwa aku adalah malam yang menunggu paginya dan seterusnya akan begitu.
Tetapi, ingatkah kamu bahwa aku adalah perempuan?
Perempuan dengan segala keterbatasan.
Perempuan dengan segala prasangka pun gelisah yang terkadang tak bisa terkontrol.
Perempuan yang terkadang masih juga kalah dengan emosi sesaat.
Perempuan yang pandai mengatakan, “Tidak, tidak ada, dan tidak apa-apa.”
Iya, aku begitu perempuan.  Dan terkadang, di sela waktu yang ada, seseorang pernah mengatakan padaku, “Kamu pantas dipeluk, bukan oleh lengan yang tidak peduli bagaimana perasaanmu. Kamu pantas digenggam erat-erat, bukan oleh tangan yang hobi mengabaikanmu.” Dari situ, pertahananku sempat ingin goyah. Namun, kugelengkan kepalaku. Tidak, aku masih berada dalam lengan yang benar. Hanya saja, lengan itu untuk saat ini berjarak denganku. Tetapi, rasa lengan itu tetap sama, tetap hangat dan melindungi. Hanya saja, lengan itu kini punya kesibukan yang lain. Bukan hanya untuk merengkuh, memeluk, atau menarikku lebih dekat dengannya, tetapi juga lengan itu kini berusaha mewujudkan sebuah impiannya.

Sibuklah! Sibuklah hingga kamu sadar bahwa kamu masih tetap punya aku sebagai ‘rumah’ tempat kembali setelah seharian berlalu-lalang di luar sana. Sibuklah! Sibuklah hingga kamu sadar bahwa di sini ada perasaan yang tabah menunggu Tuannya pulang. 

Senin, 02 Februari 2015

Ayah dan Tangis di Malam Hari

Diposting oleh Ratu Nur Faradhibah di Senin, Februari 02, 2015 2 komentar
Selamat memasuki hari keempat menulis surat cinta! Selamat menulis! Meskipun tahun ini saya terlambat untuk ikut program #30hariMenulisSuratCinta, saya tahu bahwa saya harus tetap menulis. Iya, karena ada banyak cinta yang tidak sampai kepada orang yang seharusnya. Maka dari itu, semoga dengan menulis surat, cinta yang tidak sampai atau rindu yang bertepuk sebelah tangan adanya bisa sampai dengan selamat kepada tuannya.
Dini hari, Makassar masih disetubuhi oleh hujan. Hujan deras sekali, mungkin sedang mencapai tingkat orgasmenya yang paling tinggi. Sekali dua kali aku mencoba memejamkan mata untuk tidur dan bermimpi di bawah selimut kesukaanku. Kamu tahu kan selimut kesukaanku? Iya, selimut yang warna merah jambu. Lembut dan hangat seperti pelukmu. Namun, sepertinya aku kembali mengalami gangguan sulit tidur sebab sudah hampir dua jam meringkuk di bawah selimut tetapi kedua mataku masih saja membelalak ke sana kemari, seolah mencari sesuatu yang janggal di dalam kamar tidurku sendiri. Siapa tahu di sudut kamar ada yang sedang berdiri memandangiku atau siapa tahu di bawah kolong tempat tidur ada sepasang tangan yang bergelayut mencari-cari tangan lain yang bisa ia genggam. Hii! Tidak...tidak...kuusir jauh-jauh rasa takut yang berlebih, kucoba memikirkan sesuatu yang lebih menarik. Dan apalagi selain kamu?
02.40. Jam dinding terus berdetak cepat, seolah-olah ia sedang jatuh cinta. Entah pada jam yang mana ia jatuh cinta, aku tidak tahu. Tiba-tiba, ada yang meluncur pelan dari pelupuk mataku. Mengalir...membentuk sungai kecil di ceruk pipiku yang kuperhatikan semakin hari semakin melebar saja. Mungkin pengaruh liburan? Atau mungkin pengaruh rindu yang berlebih? Entahlah.
Aku menangis, tangisan pertama di tahun 2015. Kuberitahu padamu, menangis dalam gelap malam dan dalam keadaan sendiri itu tidak pernah mengenakkan. Sesak, seperti ada yang mengganjal di dalam dada, tapi aku sendiri tidak pernah tahu apa gerangan yang ada di dalam sana. Tetapi, seperti biasanya, kubiarkan ia mengalir, mencari ‘hulu’ tempat ia bermuara. Sedang aku sibuk menerka-nerka, kepada siapa tangis ini ditujukan?
Lalu aku teringat ayah. Sebelum tidur, aku sempat beradu mulut dengan ayah. Perihal ketidak-disiplinanku dalam mengatur waktu. Ya, aku memang terlalu banyak main akhir-akhir ini, sampai-sampai aku melupakan beberapa kewajibanku. Namun, aku adalah anak sulung dengan ego yang besar adanya. Sewaktu ayah memarahiku, aku tidak pernah tinggal diam. Aku membantah ini-itu dan apa saja alasanku untuk menyatakan bahwa perkiraannya salah. Sampai aku lelah dan memutuskan untuk masuk ke kamar...mengunci diri selama beberapa jam tanpa sepatah kata pun. Ayah pun turut bungkam. Kami tidak berbicara sampai beranjak ke tempat tidur masing-masing.
Aku tahu aku salah, tetapi terkadang egois melampaui besarnya rasa bersalah kita sehingga kita menyadarinya nanti....di belakang hari. Aku tahu ayah punya maksud yang baik, ayah selalu ingin aku tumbuh menjadi perempuan yang disiplin, dengan time-manage yang bagus sehingga tidak ada satupun kegiatan yang keteteran. Tetapi, di satu sisi, aku selalu berpikir bahwa aku masih muda, pelan-pelan saja agar semuanya bisa kunikmati satu per satu. Ayah terlalu mengekangku sehingga ia lupa bahwa aku adalah aku, yang sebentar lagi memasuki usia ke 20 tahun dan itu berarti aku bukan lagi anak kecil. Aku punya hak menentukan apa pun dalam hidupku.
Iya, seperti itulah ayah; tegas untuk beberapa hal yang memang menurutnya patut untuk ditegasi. Namun, ayah tetaplah ayah. Marah seperti apa pun, aku tetap sayang. Sebab cinta yang tulus hanyalah darinya juga ibu. Sebab gurat-gurat lelah yang tercipta di wajahnya tak lain dan tak bukan karena berjuang memenuhi kebutuhanku, kebutuhan ibu, dan juga kebutuhan kedua adikku. Sebab setiap harapan yang ia gantung setinggi langit, pada akhirnya ia wasiatkan kepadaku dan juga kedua adikku. Aku selalu ingat acap kali ayah berkata, “Ayah sudah tua, pun ibu. Kalau pun ada beberapa hal yang belum ayah dan ibu wujudkan semasa hidup, itu menjadi tanggung jawab kalian untuk mewujudkannya.” Iya, ayah dan ibu semakin hari semakin menua. Rambut putihnya sudah ada di mana-mana, sifat pelupanya tak dapat disangkali, pandangannya yang semakin mengabur sehingga harus bergantung pada kacamata, dan kesehatan yang sesekali dikalahkan oleh beberapa penyakit. Aku menyadarinya. Dan terkadang, aku menitikkan air mata. Apa ayah dan ibu masih ingin menungguku untuk meraih apa yang selama ini selalu aku katakan di depan mereka? Apa ayah dan ibu masih ingin menunggu hingga tiba waktunya mereka berjalan di sampingku, mengapit aku yang menggunakan toga di atas kepala? Apa ayah dan ibu masih ingin menunggu hingga tiba waktunya ayah menjabat tangan lelaki lain yang ingin ‘merebut’ tanggung jawabnya selama ini atasku dan ibu yang melepaskan aku menuju ‘rumah’ yang baru? Apa ayah dan ibu masih ingin menunggu setahun...dua tahun setelah itu...aku membawakan mereka cucu-cucu yang lucu yang mungkin selama ini mereka impikan? Aku ingin mereka masih di sampingku, berjalan beriringan menyaksikan proses demi proses dalam hidupku, menyaksikan segala pencapaian yang sebenarnya kuhadiahkan untuk mereka. Dan semoga Tuhan berbaik hati mengabulkan keinginanku.

Tetapi lagi-lagi aku egois. Hanya melalui surat ini, aku mengucap maaf kepada ayah. Sebab aku terlalu besar untuk berlari ke pelukannya dan meminta maaf atas kesalahanku. Sebab aku sebenarnya terlalu malu untuk melakukan hal itu. Namun, percayalah, maafku adalah sesuatu yang tulus untuknya. Meski pun hanya lewat surat ini. 
 

Ratu Faradhibah Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei