Kamis kemarin akhirnya saya
berhasil menjadi salah satu orang yang merayakan euphoria film Ada Apa Dengan Cinta 2 yang legendaris itu. Berangkat
dari rumah menuju bioskop, saya tidak terlalu memikirkan jalan cerita dari film
ini sebenarnya. Lebih dari itu saya memikirkan kita; kamu dan saya. Entah, saya
tidak tahu kenapa berbulan-bulan setelah perpisahan itu saya masih saja
menyimpan kamu dengan rapi tidak hanya di otak tapi juga di dalam hati.
Sesampainya di bioskop dan
bersabar dalam antrian kurang lebih 30 menit, saya dan teman-teman pun
mendapatkan tiket menonton film Ada Apa Dengan Cinta 2 pas untuk pemutaran jam
pertama. Yey! Akhirnya, saya berempat
memasuki studio dan lekas mencari seat kami
masing-masing. Tidak terlalu jauh dari layar pun tidak terlalu dekat. Setidaknya
jaraknya cukup untuk memelototi wajah dingin Rangga atau sekedar melihat air
mata Cinta yang terperangkap masa lalu.
Sebelum filmnya dimulai, saya sempat meminta beberapa lembar tissue
milik teman di sebelah saya. Bukan karena ingin menangis, tapi saya sedang flu.
Hahaha. Lima menit pertama saat film
mulai diputar, saya menikmatinya dengan tenang, meskipun kadang diselingi
olokan iseng dari teman di sebelah saya. Hingga memasuki bagian di mana Cinta
dan ketiga sahabatnya memutuskan untuk berlibur ke Jogja, saya mulai berharap-harap
cemas memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Iya, saya orangnya
tetap seperti itu sayang, masih suka ‘tegang’. Dan tibalah pada bagian saat
Cinta tahu kalau Rangga juga sedang berada di Jogja, di kota yang sama
dengannya setelah diberitahu oleh Karmen, sahabatnya, saya mulai serius
memperhatikan setiap detil dari percakapan dalam film ini.
“Buat apa ketemu lagi? Rangga itu udah kayak arsip di hidup gue. Udah gak
perlu lagi dibuka.”
“Hmm udah jadi arsip tapi itu berarti masih disimpan, kan?”
Percakapan itu terjadi antara
Cinta dan sahabat-sahabatnya. Ketika saya mendengarnya, saya sempat tersenyum
kecut, antara menertawakan kalimatnya dan juga mengiyakan dalam hati. Sesuatu yang
kadang kita pikir telah kita buang jauh-jauh ternyata masih kita ingat jauh lebih
baik dari sebelumnya. Seperti itu kan? Buktinya saja yang terjadi pada Cinta,
ia selalu bersikeras bahwa tidak ada lagi yang perlu diselesaikan antara
dirinya dan Rangga sebab menurutnya hal itu sudah berlalu, semuanya tidak lagi
punya arti. Tapi who knows tentang
apa yang terjadi selanjutnya.
Dan pada akhirnya, Rangga muncul
di hadapan Cinta setelah kurang lebih sembilan tahun lamanya mereka berpisah. Jangan
tanyakan bagaimana raut wajah Cinta ketika pertama kali melihat Rangga tepat di
depan matanya. Tatapan mata yang penuh luka, benci, dan kecewa tapi juga
menyiratkan masih ada rindu yang tertata rapi untuk lelaki itu. Detak jantung
yang kecepatannya seolah-olah tak ingin kalah saing dari detik jarum jam yang
terus berputar, membungkus momen pertemuan
mereka. Semua itu menjadi saksi pertemuan bagi dua orang yang pernah saling
membingkai perasaan satu sama lain.
Cinta yang masih tidak bisa
menahan kemarahan akibat sakit hati yang diciptakan Rangga baginya membuat
malam itu seketika porak-poranda. Cinta berlari meninggalkan Rangga yang masih
mematung setelah mendengar pertanyaan Cinta, “Untuk apa kamu ke sini?”
Cinta menaruh perasaan kecewa luar
biasa, ingatannya kembali pada saat Rangga memutuskannya secara sepihak yang
tidak sekalipun memberikan Cinta kesempatan untuk bertanya lebih jelas alasan
dari keputusan Rangga yang dinilainya sebagai sebuah keputusan yang lahir dari
seorang ‘pecundang’ macam Rangga. Tangisnya pecah hingga kalimatnya yang tak
terkontrol pun melukai hati sahabatnya sendiri, Karmen.
Dalam film ini, Rangga benar-benar
melakukan kesalahan yang mengakibatkan ia harus kehilangan Cinta. Padahal ia
tahu bahwa dirinya selalu menginginkan sosok Cinta dalam hidupnya. Hingga pada
saat ia datang kembali, ingin memperbaiki semua yang telah ia kacaukan, Cinta
telah memiliki hidupnya sendiri bersama orang yang baru.
Tetapi, cinta tetaplah cinta. Sekuat-kuat
kau membencinya, hatimu masih akan selalu punya ruang untuknya, entah untuk
sekedar mengetahui kabarnya atau bahkan untuk memaafkan apa yang telah ia
lakukan padamu. Cinta tetaplah cinta, sekeras apa pun kau menyangkalinya,
hatimu masih akan selalu menyimpan segala sesuatu tentangnya, mulai dari hal
sekecil apa pun itu hingga hal yang paling membuatmu terkesan padanya.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan
banyak menceritakan kisah rumit antara Cinta dan Rangga. Saya tahu kalau saya
tetap melakukannya, tulisan saya ini bisa dituding sebagai sebuah spoiler. Dan itu yang harus saya
hindari. Saya hanya menceritakan beberapa bagian yang sebenarnya membuat saya
merasa seperti tertohok. Rasanya seperti ada pisau yang menancap begitu dalam
di hati saya terlebih di bagian saat puisi dari kak Aan dibacakan oleh Rangga, “Kadang-kadang, kau pikir, lebih mudah
mencintai semua orang daripada melupakan satu orang. Jika ada seseorang
terlanjur menyentuh inti jantungmu, mereka yang datang kemudian hanya akan
menemukan kemungkinan-kemungkinan.”
Kamu boleh menanyakan apa yang
terjadi saat puisi itu terdengar. Saya harus membuang perasaan gengsi dan
membiarkan air mata mengalir deras. Saya menangis, saya berhasil dibuat
menangis oleh kutipan puisi kak Aan. Ingatan saya tiba-tiba terkunci oleh kamu.
Kamu yang beberapa bulan belakangan ini masih enggan tersisihkan oleh siapa
pun. Dan saya sadar bahwa apa yang saya lakukan ke kamu itu seperti apa yang
dikatakan Cinta kepada Rangga; Jahat.
Mari kita telisik hal apa yang
membuat saya tidak merasa jahat saat saya melepas kamu begitu saja hanya karena
ayah tidak setuju soal kita. Saya tidak mengusahakan kamu, itu benar. Saya tidak
memperjuangkan kamu, itu juga benar. Dan parahnya lagi, saya baru menyadari hal
itu saat semuanya terlanjur terjadi. Saat mungkin kamu mulai ikhlas menerima
keputusan saya dan memutuskan untuk membatukan hatimu dari segala pikiran
tentang saya. Saya paham hal itu dan saya tidak punya kuasa apa pun untuk marah
karena saya tahu, kamu sudah cukup memperjuangkan saya di saat saya sendiri
tidak bisa melakukan apa yang seharusnya saya lakukan untuk kamu.
Tetapi, ada hal yang harus kamu
ketahui sayang bahwa hidup ibarat lautan yang tidak pernah kita ketahui di mana
ujungnya secara pasti. Oleh karena itu, dulu, saya suka sekali senyummu. Tidak sekedar
suka tapi juga saya butuh senyum itu untuk dapat menegakkan layar yang akan
membantu kapalku menuju lautan lepas. Jadi bisa kamu bayangkan bagaimana
payahnya saya saat jauh dari matamu.
Kamu perlu tahu, tiga tahun yang
kita lewati tidak pernah mudah menghilangkan kamu dari segala sesuatu yang
mengingatkan saya kepadamu. Entah itu aroma parfum milikmu, makanan kesukaanmu,
klub bola favoritmu dan bahkan lagu-lagu kesukaanmu juga kebiasaan kita yang
penuh rasa sayang. Kamu adalah apa yang sebenarnya selalu dituju oleh
baris-baris doaku, pastinya setelah ayah dan ibu.
Saya tahu ada banyak yang berubah,
ada banyak yang berevolusi. Namun tidak dengan kenyataan. Kenyataan terlalu
kaku untuk mengubah caranya menyadarkanku dengan tamparan. Kehilanganmu tidaklah
pernah menjadi hal yang mudah. Oleh karena itu sengaja kucuri banyak metafora
agar setidaknya sedihku pun bisa kamu nikmati.
Hingga hari ini, hari ke-58 di
mana soreku kehilangan kamu. Bukan lagi saya yang menghangatkan diri pada
lingkar lenganmu. Bukan lagi saya yang menari-nari di sela jemarimu yang fasih
menjanjikan keamanan bagiku setiap berada di sampingmu. Bukan lagi denganku kamu
menjelaskan panjang lebar tentang bagaimana ujian di kampus yang sudah kamu
lewati, tentang bagaimana rencana kamu selanjutnya setelah lulus sebagai taruna
muda. Bukan lagi denganku kamu berbagi tentang apa saja yang membuat harimu
berat dan sebaliknya. Saya juga kamu banyak kehilangan. Tapi tenang, kamu tidak
perlu repot-repot menanyakan soal kerinduanku untuk siapa. Kamu selalu menjadi
orang yang paling tahu soal itu. Sebab kerinduanku padamu ibarat adzan subuh
yang selalu berkumandang, membangunkanku tiap pagi.
Mungkin saat membaca tulisan ini,
kamu bertanya untuk apa saya menulisnya. Sungguh, saya tidak punya maksud
apa-apa dengan tulisan ini. Saya mengerti, kamu tahu kalau saya dari dulu pun
senang menulis. Entah itu tentang kamu, tentang kita atau tentang apa saja yang
ingin saya tulis. Dan saya menulis ini tidak lebih dari luapan rasa takut
tentang penyesalan yang mungkin nantinya hadir di belakang hari, lalu setelah
ingin memperbaiki semuanya, saya tidak lagi bisa sebab kamu mungkin sudah
terlalu jauh di depan sana. Setidaknya saya bisa lebih jujur dalam menulis,
mengungkapkan semua yang masih saya simpan sendiri hingga saat ini.
Semoga kamu selalu bahagia…..
Ps: Saya tidak ingin membuat
perasaan saya terhadap kamu menjadi hina dengan tulisan ini yang mungkin kamu
kira bisa membuat kamu luluh hingga memutuskan untuk memperbaiki lagi semuanya
dari awal. Tidak sekalipun. Saya hanya menyampaikan apa yang harusnya kamu
tahu, saya sayang kamu dan tidak berubah sedikit pun meski kamu sudah
memutuskan untuk tidak memulai lagi dengan saya