Minggu, 23 November 2014

Malam Panjang

Diposting oleh Ratu Nur Faradhibah di Minggu, November 23, 2014 0 komentar
Adalah banyak hal yang bisa menguap ketika menunggu merupakan sebuah pekerjaan. Dan kamu tahu? Kamu adalah orang pertama yang kutemui yang selalu membuatku mampu menunggu lebih lama. Bukan aku yang menguap, hanya saja waktu, kepul asap kopi kesukaanku, setangkup prasangka terbaru serta gelisah yang memburu perhatianmu yang mungkin menguap. 
Seperti malam ini. Kamu lagi lagi membuatku menunggu. Sudah hampir setengah jam yang lalu aku duduk di kafe langganan kita. Memesan kopi kesukaanku dan andai saja bisa memesan kamu tepat waktu, aku sungguh sudah daritadi melakukan hal tersebut. 
Pesan singkatmu pagi tadi membuatku menelan rasa penasaran yang luar biasa membuatku uring-uringan. 
Ada hal yang perlu kita bicarakan. Kafe Project, jam 8 malam ini.” 
Maka, kupilih baju terbaik yang akan kukenakan untuk bertemu kamu malam ini. Dan hasilnya? Kau lagi-lagi membuatku menunggu. Tidak lima menit…sepuluh menit…tapi, kamu terlambat sudah lebih dari satu jam. Sudah beberapa kali kutengok handphoneku, kalau-kalau ada pesan singkat yang kamu kirimkan untuk sekedar mengabarkan sesuatu hal. Namun hasilnya nihil. 
Inikah cinta? Aku tak pernah suka menunggu. Namun bersamamu, aku tahu rasanya menunggu. Sesekali mungkin kita bisa bertukar posisi, sehingga kamu tahu betapa pahitnya menjadi penunggu dan aku tahu betapa manisnya menjadi seseorang yang selalu ditunggu. 
Kulirik jam di pergelangan tanganku. Sudah hampir jam 9 malam dan kamu belum juga nampak. Kucoba menghubungi nomor handphonemu namun tak digubris. 
Andai kamu tahu, aku hanya ingin ini menjadi malam panjang bagiku. Kita saling bertukar cerita hingga dinding-dinding menepi, hingga malam melepas hingar-bingarnya dan hingga pagi mengetuk kewarasan kita. 
***
"Sudah pukul berapa? Aku ada janji dengannya. Dia pasti sudah lama menunggu." 
Seseorang di sisiku malah makin mempererat pelukannya. Seolah-olah tak pernah rela melepasku walau hanya semenit. 
"Untuk apa kamu temui dia lagi? Sudah ada aku untukmu. Apa kamu tidak puas?" 
Aku menggeleng. 
"Aku hanya ingin menghabiskan satu malam panjang bersamanya. Mencermati senyumnya yang pucat. Membicarakan tentang apa saja yang mungkin membuatnya bisa selalu mengingatku." 
"Kamu tidak boleh pergi, Roy. Aku tidak akan mengijinkanmu." 
"Tapi aku sudah janji, Reza." 
***
Aku masih menunggu hingga detak jam dinding semakin pelan. Para pelayan kafe mulai cemas melihatku yang tak kunjung beranjak. 
Ini malam panjang yang pernah kamu buat untukku. 
Makassar,2014

November

Diposting oleh Ratu Nur Faradhibah di Minggu, November 23, 2014 0 komentar
Kita adalah dinding-dinding tua yang saling kikuk mengamati wajah-wajah palsu penghuni kota. Tak ada yang lebih riuh dari lalu-lalang mereka semua. Bahkan rasa sepi yang dulu sekekal rindu kini tak berasa lagi semenjak semakin banyak kepalsuan di kota kita. Gegas langkah memburu, menghantam ketenangan yang kita; aku dan kamu kadang butuhkan lebih dari secangkir kopi hitam di pagi hari. 
    Tuan, aku terkadang menitipkan tanya kepada rintik hujan yang lebih tabah dari yang dikatakan Sapardi. Adakah kau benar-benar di hadapanku? Atau hanya sekelebat tubuh tanpa jiwa hasil kematian nurani orang-orang di luar sana.
    Tuan, di antara bising kendaraan dengan asap-asapnya yang menyergap, terkadang kudengar bisik yang kian memunah. Tentang rindu yang tak sampai, atau tentang cinta yang semakin kehilangan identitasnya.

Mungkin itu kita.
Mungkin hanya kamu
Atau mungkin hanya aku.

Sabtu, 05 Juli 2014

To : Syakira Mahani

Diposting oleh Ratu Nur Faradhibah di Sabtu, Juli 05, 2014 0 komentar
Hai.


Selamat Ulang Tahun.


Selamat mengulangi hari bahagiamu setiap tahun.


Dan mungkin, selamat atas kehilangan yang kembali terjadi dalam hidupmu.

1 July 2014
Kamu ingat? Hampir kurang lebih tujuh tahun kita saling kenal. Bukan hanya saling kenal, kita; saya dan kamu berada dalam sebuah jalur yang sulit dipisahkan. Saya dan kamu yang saling berangkulan ketika sebuah hal membuat salah satu di antara kita menjadi lemah. Saya dan kamu yang saling berbagi riang tawa dan canda gembira saat sebuah hal yang kita inginkan menghampiri kita berdua. Dan selama kurang lebih tujuh tahun itu, saya selalu mengucapkan selamat ulang tahun untukmu setiap terbangun dari lelap.
Selamat ulang tahun, Syakira. Apa kabar? Mari kuhitung sudah berapa banyak hari yang kulewati tanpa kamu di sampingku. Sebulan…dua bulan…tiga bulan..ah sepertinya sudah hampir satu tahun. Saya  salah? Maaf, hitung-hitunganku tidak pernah berubah. Selalu anjlok.
Rasanya, baru kemarin saya menangis memikirkan bahwa kita berdua pisah kuliah. Baru kemarin kamu menulis surat hadiah ulang tahun untukku. Tapi, ternyata time flies. All things we have is change. Not us but something around us has changed.
Syakira yang cantik, Syakira yang baik, Syakira yang pintar, dan Syakira yang segala-galanya. Kita berdua sebenarnya terlalu hitam putih sekali ya, Syak. Kayak yin dan yang, kayak langit dan bumi. Kamu yang cenderung tenang dan pendiam dan diam-diam banyak disukai orang banyak. Saya yang cerewet yang riweuh yang heboh yang terbuka yang blak-blakan yang ah pokoknya kita terlalu banyak bedanya. Tetapi potongan puzzle memang tidak pernah ada yang sama, bukan? Dan seperti itulah kita. We’re just the perfect pair of puzzle that fits perfectly. Kamu yang hampir tidak pernah protes dengan saya yang selalu bicara yang selalu cerita dan kamu yang SELALU mendengarkan, dan pada akhirnya saya selalu berpikir, “Kamu bosan gak sih dengar aku cerita ini itu macam-macam?”
Sekarang semuanya tergerus dengan kesibukan kita masing-masing. Tidak ada lagi cerita bermacam-macam adanya yang kadang mengundang tawa, geli, atau tidak jarang mengundang kemarahan kita berdua. Sekarang semuanya mencipta rindu di sela jarak yang mungkin tidak berarti namun entah mengapa amat terasa hadirnya.

Saya rindu.

Saya kangen.

Saya rindu kita,

Kamu.

Dan semua hari-hari yang kita gunakan untuk saling berbagi satu sama lain.

Hari ini, tepat ulang tahunmu yang ke 19 tahun, saya tidak sempat memberikan kamu apa-apa. Tidak hadiah pun sebuah lilin di atas kue cantik. Namun, percayalah, dalam baris doa yang saya kirimkan sehabis salat, selalu ada namamu sebagai salah seorang yang kusayangi. Apa pun itu, kesuksesan, kesehatan, keselamatan, dan kebaikan untukmu  semoga selalu terselip dalam kehidupanmu.

Terima kasih karena telah menjadi sahabat terbaik untuk saya selama ini.

Terima kasih karena meski jauh, kamu selalu menyemangati saya.

Terima kasih karena nasihat-nasihatmu, saya bisa menjadi sebesar ini.

Terima kasih karena telah menjadi seorang kakak di sela waktu yang kuharapkan.

Di sini, di tempat saya, akan selalu ada semangat yang kukirimkan untukmu. Untuk setiap mimpi dan cita-citamu. Selalu ada pelukan dalam bentuk doa yang kusediakan, kalau-kalau kamu di sana sedang dirundung duka. Selalu ada cinta dalam bentuk kalimat “Apa kabar?” yang kukirimkan, kalau-kalau kamu sedang membutuhkan teman cerita dalam hal apa saja.



Selamat ulang tahun, Syakira Mahani.

Hari ini, rindu itu bernama kamu. 

Minggu, 09 Maret 2014

Selamat kehilangan, Sayang!

Diposting oleh Ratu Nur Faradhibah di Minggu, Maret 09, 2014 0 komentar

“Kamu punya hak untuk tidak mencintaiku kembali, tetapi tidak untuk membuatku berhenti mencintaimu,” –Farah Fatimah

Blog saya mungkin sudah dipenuhi debu setebal serial Harry Potter yang saya miliki saking jarangnya saya mengisinya kembali. Bukan, bukan karena saya melupakannya. Tetapi ada satu dan lain hal yang membuat saya harus mengesampingkan niat mengisi kembali ‘rumah’ kedua saya ini.
Oh iya, sudah masuk bulan Maret. Bulan di mana kamu mau tidak mau harus melepaskan angka 21 dari dalam hidupmu. Menggantinya dengan angka 22 yang terlihat lebih matang dari sebelumnya. Ah, Selamat bertambah usia, Sayang! Berdoalah, tugasku hanya mengamankan kata amin untuk setiap doamu. Begitu kata kak Hurufkecil suatu waktu.
Selamat ulang tahun, Kak! Mudah-mudahan ulang tahun kali ini bukan ulang tahun yang terakhir untuk kita rayakan bersama. Semoga ulang tahunmu seterusnya, saya bisa terus menemani. Berjalan berdampingan denganmu dengan hati dan telinga yang kusediakan penuh untukmu. Hati sebagai ruang menyimpan cinta, rindu, kasih, serta sayang yang tak dapat dihitung jumlahnya. Serta telinga yang setiap saat bisa mendengarkan segala keluh kesahmu, segala kebahagiaan yang ingin kamu bagi bersamaku. Pun kesedihan yang mungkin berantai menurutmu.
Usia kita terpaut kurang lebih empat tahun. Tahun ini kamu genap berusia 22 tahun, dan saya masih menyetia dengan angka 18. Tapi, usia bukan masalah, kan? Iya kan? Iya, semoga bukan. Semoga di usiamu yang baru, kamu bisa lebih mengerti rupa kehidupan yang sebenarnya. Kamu bisa lebih mendewasakan hati dan pikiranmu terhadap apa yang ada di sekelilingmu. Dan mungkin, kamu bisa menyiapkan hati yang lebih lapang lagi untuk mencintaiku. Hiiy…*abaikan*
Saya tidak minta macam-macam di hari bahagiamu. Saya terkadang hanya ingin dipeluk kamu dalam diam. Seolah-olah, saat seperti itu adalah saat di mana kita berdua saling memahami isi kepala masing-masing. Bahwa diammu bukan berarti kepedulianmu terhadapku telah melesap entah kemana, melainkan diammu berarti kamu tengah berusaha meredam keegoisanmu yang selalu ingin dimengerti. Bahwa diamku bukan berarti aku sedang menyembunyikan sesuatu darimu, tapi berarti dalam diam, saya selalu berusaha bersyukur bahwa kamu berani memberiku ruang untuk merasakan jatuh cinta kepadamu dalam diam. Tanpa interupsi apa pun darimu.
Tidak, saya tidak ingin meminta kamu berjanji untuk selalu ada di sampingku. Sebab saya tahu, segala ucapan akan membutuhkan pembuktian dan memiliki konsekuensi yang harus ditanggung. Dan saya tidak ingin, kamu menjadi orang yang ingkar terhadap janjimu sendiri.
 Sekali lagi, selamat ulang tahun, Sayang! Berbahagialah terus, hingga kamu nantinya hanya akan melihat sebuah kesusahan sebagai awal dari kebahagiaan yang paling indah dalam hidupmu. Bahagialah, dan mari saling berbagi!

Lot a love for you,

FaradhibaR J

Rabu, 12 Februari 2014

Untuk Tuhan

Diposting oleh Ratu Nur Faradhibah di Rabu, Februari 12, 2014 0 komentar
Pagi ini saya terbangun dengan perasaan yang biasa saja. Tidak sedih pun tidak juga gembira. Kutinggalkan tempat tidur yang sepreinya telah lusuh bekas tidurku semalam. Kucepol rambut yang semakin hari tampaknya semakin panjang. Dan setelah itu, kupinggirkan langkahku ke tepi jendela kamar.
Tidak ada apa-apa. Biasa saja, hanya ada sinar matahari yang membaui embun di setiap helai daun-daun hijau. Hanya ada rumput yang bergoyang karena disapa oleh desir angin. Seperti wajah seorang gadis yang tersipu malu karena baru saja bertemu dengan kekasihnya.
Tiba-tiba saja saya melamun, ada sesuatu yang melintas begitu cepat di dalam pikiran saya. Iya, tentang napas yang masih memburu, tentang detak dan debar jantung yang masih normal adanya. Kepada siapa saya harus berterima kasih atas semua ini? Tak ada jawaban yang lebih tepat selain kepada Tuhan di Atas sana.
Tuhan, bagi saya entah mengapa lebih dari sekedar menulis kata-kata cinta yang picisan.
Saya kehilangan kata saat berbicara tentang Tuhan. Saya kehilangan teluh dalam menciptakan kalimat demi kalimat. Padahal, biasanya saya tidak perlu waktu lama untuk menghasilkan beberapa kalimat sederhana yang akan diposting di blog milik saya.
Kepada Tuhan, tidak jarang saya berprasangka buruk kepada-Nya. Terkadang saya memaki, saya bawel, dan paling sering, saya memarahi. Tapi, dibalik itu semua, tak jarang pula saya menangis tersedu-sedu di hadapannya.
Kamu tahu rasanya menangis tersedu-sedu di hadapan Tuhanmu? Rasanya tidak seperti menangis di hadapan banyak orang. Kamu tidak perlu menyiapkan kantong malu pun kamu juga tidak perlu menyiapkan rasa segan. Cukup menangis saja. Menangis di hadapan Tuhan rasanya begitu nyaman. Setelah lelah menangis, Tuhan akan memelukmu. Membelai rambutmu dengan lembut. Indah bukan?
Kata ibuku, jangan bersimpuh di hadapan Tuhan hanya ketika kamu tersandung banyak masalah. Karena itu membuktikan ketidak profesionalan kamu sebagai seorang makhluk. Itu membuktikan bahwa kamu tidak pandai mensyukuri segala hal yang dihadiahkan Tuhan kepadamu. Meskipun yang dihadiahkan itu termasuk sebuah masalah yang terkadang membuatmu seperti ingin berlari saja, meninggalkan ia jauh di belakangmu.
Tetapi apalah saya ini yang masih lebih banyak lupa dibanding ingatnya. Terkadang saya lebih banyak mengingat Tuhan ketika sedang dirundung masalah, tapi hampir lupa saat sedang dipeluk kebahagiaan. Maafkan ya Tuhan!
Hari ini, pagi ini, saya berjalan di sekitar rumah. Saya melihat anak-anak yang berangkat ke sekolah, ibu-ibu yang menenteng keranjang belanjaannya menuju pasar, dan masih banyak pemandangan yang cukup membuat saya bersyukur tiada henti. Bahwa hingga hari ini, saya masih memiliki kesempatan untuk menyaksikan hal seperti ini. Pemandangan yang membuat saya kembali tersadar bahwa Tuhan selalu ada di setiap detail kehidupan.
Ah Tuhan menyayangi saya, apa pun kondisi saya. Tidak sekalipun Dia marah lantas lupa memberi saya kebahagiaan. Saya bersyukur, selalu bersyukur. Tidak perlu kata-kata manis untuk bersyukur, tidak perlu puitis untuk menuliskan kalimat syukur kepadaNya. Cukup dengan tersenyum menghadapi hari, itu berarti kita telah bersyukur kepadaNya J










Kamis, 06 Februari 2014

Untuk Rasa Kangen yang Bertebaran Di mana-mana

Diposting oleh Ratu Nur Faradhibah di Kamis, Februari 06, 2014 0 komentar
Selamat pagi! Sudah bangun? Sudah sarapan? Sarapan apa hari ini? Saya sarapan roti pakai selai coklat loh tapi tetap sambil menanggung kangen yang seberat-beratnya. Kamu tidak kangen? Tidak apa-apa J
Hai, apa kabar hari ini? Saya kangen. Duh mudah-mudahan kamu tidak bosan mendengar kata kangen yang terlontar dari bibir saya yah. Tahu tidak? Sewaktu bangun tadi, saya mencium bau parfum milikmu. Baunya mengikuti ke mana saja saya pergi. Keluar kamar, ke dapur, ke depan TV, hingga ke kamar mandi. Tunggu, biar kutanyakan, itu sengaja kamu kirim yah supaya rasa kangenku sedikit bisa terobati? Kalau iya, terima kasih, Sayang.
Andai di mana-mana ada kamu yang terselip, mungkin di situ juga ada kangen yang akan kamu bawa pulang ke rumah. Tetapi sayangnya, kamu tidak seperti butiran debu yang bisa terselip di mana saja. Hingga akhirnya, kamu tak pernah tahu betapa tidak enaknya menjadi saya yang sibuk sendiri menanggung beban dari rasa kangen ini.
Kata teman, kangen itu kalau setiap beberapa menit sekali, kamu akan kembali menegok handphone hanya untuk mengecek apa ada pesan singkat dari kamu.
Kata teman, kangen itu seperti kebiasaan meminum kopi di pagi hari. Bila tidak dilakukan, seperti ada yang kurang. Pun seperti kangen, bila tak bertemu, maka tak pernah berarti.
Kata teman, kangen itu kalau kamu selalu menyediakan waktu barang semenit untuk meng-stalker akun Twitter miliknya. Hanya untuk tahu sudah nge-tweet apa saja dia hari ini.
Kata teman, kangen itu seperti mendengar lagu galau. Selalu ada pikiran tentangmu di setiap bait lagu.
Kata teman, ah sudahlah tak usah diteruskan. Nanti kangennya semakin menjadi-jadi.
Oh iya, surat ini sengaja saya tulis untuk rasa kangen yang bertebaran di mana-mana. Di dalam kamar, di dalam lemari buku, di dalam secangkir kopi, di atas meja rias, dan ternyata saya baru sadar bahwa semua bagian dalam rumah diselimuti oleh kabut kangen tak berkesudahan.
Semoga dengan menulis surat ini, saya sejenak melupakan bagaimana rasanya kangen denganmu. Karena sungguh, ketika menulis surat ini, saya sedang diburu oleh rasa kangen.
Kalau kamu kangen balik, tolong kirim pesan singkat yah!
Kalau kamu kangen balik, mention atau DM saya yah!
Dan kalau kamu kangen sekali, tolong telepon saya barang lima menit saja.




Salam kangen bertubi-tubi

Selasa, 04 Februari 2014

Halo, Kak Falla!

Diposting oleh Ratu Nur Faradhibah di Selasa, Februari 04, 2014 0 komentar
Halo, Kak Falla!Surat yang diikutkan dalam rangka #30HariMenulisSuratCinta ini saya tujukan untuk Kak Falla Adinda, berhubung hari ini adalah hari Selasa, di mana surat yang ditulis bertemakan khusus bagi seorang selebtwit.
Semoga hari ini, kebahagiaan memeluk erat kak Falla beserta kak Juno. Oh iya, saya salah satu followers yang mengikuti linimasa kak Falla. Entah kenapa, dari awal saya membaca novel “Heart Emergency” milik kakak hingga mengikuti linimasanya, saya jatuh cinta. Twit-twit punya kakak terkesan ringan namun terkadang tidak sempat terpikir oleh orang-orang diluar sana. Cocok sekali bagi orang yang mengatakan bahwa kak Falla ini adalah sosok perempuan cerdas. Seorang istri, seorang dokter, seorang anak perempuan yang begitu peka dengan keadaan sekitar. Bahkan dengan keadaan jepitan rambut kecil maupun eyeliner dan kawan-kawan *digetok teteh*
Selain mengikuti linimasa milik kakak, saya juga rutin mengunjungi blog milikmu, Kak. Saya senang membaca setiap cerita yang kakak posting di sana. Sepertinya, kakak benar-benar menulis dari hati. Kak, ada salah satu tulisan di blog kakak yang benar-benar saya sukai. Hingga saya sempat meng-copy nya hari itu. Mungkin, jika tak salah ingat, tulisan itu berjudul “Kepada Kau yang Kucintai dari Jauh.”
Tulisan itu sempat membuat saya meneteskan air masa saat kali pertama membacanya. Saya menyukai setiap kalimatnya. Sederhana namun apik dibaca. Dan kakak tahu? Sejak hari itu, saya mulai rajin menulis. Menulis apa saja, mulai dari apa yang sedang saya rasakan hingga akhirnya pelan-pelan menjalar ke bagian karya fiksi. Saya belajar menuliskan sesuatu seperti yang biasanya kak Falla buat. Sesederhana mungkin namun akan ada “sesuatu” yang membekas saat kita telah selesai membacanya. Akan ada yang bisa orang lain ingat walaupun hanya sekali mereka baca. Bahagia bukan, Kak?
Hampir lupa, saya ijin untuk menaruh tulisan kakak tersebut di blog saya, yah? Tidak apa-apa kan, Kak? ^^
Selain tulisan yang satu itu, saya juga sangat senang membaca cerita-cerita sewaktu kak Falla ingin menikah dengan kak Juno. Tidak jarang, saya tersenyum sendiri saat membaca cerita tersebut. Menurut saya, cerita cinta kak Falla patut diancungi jempol. Mulai dari saat-saat kak Falla jatuh cinta, patah hati, menemukan cinta kembali, patah hati lagi, hingga akhirnya bertemu dan memutuskan untuk hidup bersama sang suami saat ini. Duh, saya sepertinya iri terus-menerus jika membicarakan tentang kisah cinta kak Falla. Saya rasa, bukan hanya saya sendiri yang merasa iri, tapi perempuan-perempuan lain di luar sana juga ikut merasakan hal tersebut. Dan menurut saya, itu hal yang wajar. Bukankah setiap perempuan mendamba kisah cinta yang berujung bahagia?
Apa lagi yah yang membuat saya kagum dengan kak Falla? Mm…mungkin karena kak Falla begitu menyayangi ayah dan ibunya. Karena kak Falla memiliki sesuatu yang tidak semua orang berkesempatan akan hal tersebut; keluarga. Iya, membaca cerita-cerita kak Falla, saya bisa menyimpulkan bahwa kak Falla memiliki keluarga yang bahagia. Yang mengelilinginya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Saya berdoa semoga keluarga kak Falla selalu diberi kesehatan hingga bisa terus berkumpul dan bahagia bersama.
Aduh, Kak, sudah dulu yah, saya sudah bingung mau menulis tentang apa lagi. Sebenarnya banyak, tapi kok saya mendadak nervous yah? *ngunyah Kinder Bueno* *nawarin Teh Falla*




Sabtu, 01 Februari 2014

Untuk Mereka yang Menjadi “Rumahku”

Diposting oleh Ratu Nur Faradhibah di Sabtu, Februari 01, 2014 0 komentar
Aaaaah senangnya, akhirnya berkesempatan untuk ikut #30HariMenulisSuratCinta setelah tahun lalu harus bersabar memandangi timeline yang dipenuhi re-tweet-an surat-surat cinta yang bertebaran disertai tatapan iri sebab keterlambatan mendaftar. Tapi sudahlah, yang penting hari ini saya bisa menulis surat cinta yang pertama.
Biasanya, yang pertama itu paling spesial. Iya benar, surat pertama ini memang spesial untuk orang yang selama sembilan belas tahun terakhir ini menjadi ‘rumah’ saya. Siapa lagi kalau bukan ayah dan ibu. Sejak saya masih bergelung dalam rahim ibu, mereka telah menjadi ‘rumah’ abadi saya. Tak sekalipun saya luput dari perhatiannya, hingga sebesar ini. Hingga beranjak sedewasa ini.
Ayah. Ah tak ada kata yang paling pas jika menyebut ayah. Cinta ? Pun kalau ada sesuatu yang berada lebih di atas cinta, itu milikku. Itu kupersembahkan untuk lelaki ini, lelaki yang rela melindungiku dari segala sesuatu yang mungkin bisa mengusik segala ketenanganku. Lelaki yang setiap harinya tanpa keluhan apa pun rela menempuh jarak yang cukup berarti hanya untuk memberi kami nafkah secukupnya. Untuk membiayai segala keperluanku, keperluan kedua adik perempuanku dan masih banyak lagi yang lain yang mungkin tak pernah cukup. Maafkan anakmu, Yah :’)
Ayah, seorang lelaki yang walaupun dengan segala keterbatasannya, tak pernah sekalipun memperdengarkan kata ‘tidak bisa’ kepada kami; kepada ibu, saya, dan kedua adik perempuanku. Segala sesuatu dihadapi dengan penuh rasa optimis. Seolah kekalahan itu tak akan pernah menghampirinya.
Ayah, dengan segala kerendahan hati yang dimilikinya, tak pernah dalam hidupnya, beliau memaksakan kehendaknya kepada anak-anaknya. Ayah selalu memberi kebebasan penuh bagi anak-anaknya untuk memilih apa yang diinginkan dan apa yang dianggap terbaik oleh kami sendiri. Yang terpenting katanya adalah tanggung jawab terhadap pilihan sendiri.
Ayah, betapa bangganya saya menjadi anakmu. Bangga dengan segala kesederhanaan milikmu. Bangga dengan keoptimisan yang ayah punya. Maafkan kalau selama ini, saya terlalu gengsi untuk mengatakan sayang secara langsung pada ayah. Tapi, percayalah, Yah bahwa diam-diam, kasih sayang ini full untukmu.
Oh iya, rasanya sangat tak lengkap jika membicarakan tentang ayah tapi tidak membicarakan tentang ibu.
 Ibu; Perempuan ini, perempuan yang menjadi rumah serta surgaku. Perempuan yang begitu sederhana tampilannya, tapi tidak dengan hati kecilnya. Meski parasnya biasa saja, namun nasihatnya menjadikannya luar biasa di mata kami; anak-anaknya. Iya, perempuan ini adalah perempuan yang rahimnya pernah menjadi tempatku berlindung sebelum benar-benar mengenal dunia ini.
Ibu, setiap pagi tak sekalipun absen membuatkan segelas teh untuk ayah dan segelas kopi untuk saya. Tak pernah absen menyajikan sarapan pagi yang dibutuhkan oleh anak-anaknya. Dan selama itu pula, tak pernah ada rentetan keluh kesah yang keluar dari bibirnya. Padahal saya tahu bahwa menjadi ibu itu diperlukan kesabaran yang benar-benar berada pada tingkatan paling atas. Bayangkan saja, ibu setiap harinya selalu bangun tepat pada pukul 03.00. Lebih dulu mengambil air wudhu lalu menunaikan salat tahajjud. Baru berhenti saat Salat Subuh pun telah ditunaikannya. Dari situ, saya sadar bahwa ibu tak pernah absen mendoakan anak-anaknya di sela-sela sujud panjangnya dan mungkin di bawah linangan air matanya yang tak jarang terlihat oleh saya sendiri. Setelah itu, saat saya masih saja malas-malasan di bawah hangatnya pelukan guling, ternyata ibu telah selesai menjerang air hangat untuk membuatkan minuman di pagi hari.
Entahlah, saya tak pernah bisa membayangkan bagaimana jadinya jika ayah dan ibu tak ada. Bukan persoalan rumah akan sepi, tapi seperti ada bagian dalam hati yang hilang saja. Seperti ada sesuatu yang menuntut untuk selalu dicari-cari adanya. Dan menyadari hal tersebut, saya pun meyakini bahwa ‘rumah’ yang selama ini saya miliki adalah ‘rumah’ yang selalu membuat saya merasa sempurna. Yang membuat saya merasa nyaman meski tak pernah luput dari persoalan kecil yang ada diluar ‘rumah’ itu sendiri. Saya bahagia, saya bersyukur karena memiliki ‘rumah’ seperti mereka :) 


 

Ratu Faradhibah Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei