“We know the sound of two hands
clapping. But what is the sound of one hand clapping?” – A Zen Koan
“Saya mau expresso satu, Mbak!”
“Small atau reguler?”
“Reguler. Saya duduk di meja pojok sana ya!”
Saya meninggalkan meja kasir sekaligus tempat pemesanan kopi sembari
memainkan handphoneku. Hari itu aku tidak punya jadwal apa-apa. Kebetulan kampus
sedang libur dan akhirnya aku memutuskan untuk duduk seharian di coffee shop yang baru buka di kotaku. Tempatnya
cozy, tidak terlalu ramai. Mungkin karena
masih pagi dan aku datangnya terlalu cepat.
Aku menempati meja paling pojok. Sengaja agar nanti jika pengunjung sudah
mulai ramai, aku tetap mendapati ketenanganku di sini. Sekilas, kuperhatikan
desain-desain ruangan tersebut. Ada banyak pajangan yang menempati
dinding-dindingnya. Bukan lukisan seperti umumnya yang dipajang, melainkan penggalan-penggalan
quotes yang bersifat menyemangati
para pengunjung yang datang. Ah, hari ini, orang-orang lebih termotivasi dengan
quote dibanding keadaan dan orang
sekitarnya. Aku sendiri tipikal orang yang tidak terlalu menuhankan quote . Suka baca tetapi tidak juga
menjadikannya sebagai sesuatu yang spesial.
“Expressonya, Mba! Silahkan
menikmati!” Tiba-tiba suara itu membuyarkan pikiranku. Ternyata, pesananku
sudah datang. Perlahan, kusesap expressoku,
menikmati setiap teguk demi teguk. Sudah berapa lama tidak ngopi? Sebulan...dua
bulan...ah sepertinya memang sudah lama dan pilihanku untuk ngopi pada hari itu
tidak keliru.
Hening.
Sunyi.
Aku suka suasananya. Seperti sedang berada di .....aku mencoba
mengingat-ingat tempat tersepi yang pernah kudatangi tetapi tiba-tiba, grasak-grusuk seorang lelaki yang memasuki
coffee shop membuatku menoleh. Ia
mengenakan t-shirt Polo dan celana kargo. Di bahunya tersampir tas ransel
dengan tulisan National Geographic yang
cukup besar. Aku memperhatikan wajahnya, bentuk tubuhnya, dan juga stylenya.
Kuperkirakan umurnya empat tahun lebih tua dariku.
Lelaki itu menempati meja di seberang mejaku. Ia membuka ranselnya dan
mengeluarkan laptop serta kameranya serta meletakkan handphonenya tidak jauh
dari kameranya. “Anak gadget rupanya,” timpalku dalam hati. Setelah menaruh
barang-barangnya di atas meja, ia bergegas memesan sesuatu. Aku tidak tahu apa
yang akan dipesannya, toh tidak penting juga. Kami tidak pernah bertemu
sebelumnya dan ia bukan temanku.
Aku mengalihkan pandanganku keluar jendela. Tampak jalanan di depan coffee shop mulai padat. Maklum, hari
ini weekend dan orang berlomba-lomba memanfaatkan waktu weekendnya mungkin
untuk sekedar berjalan-jalan dengan orang-orang terdekatnya. Bosan memandangi jalan raya, mataku kembali
berputar, mencari objek menarik untuk diperhatikan. Tetapi, mengapa mataku
harus berhenti di meja seberang? Tempat lelaki yang baru datang tadi.
Ia ada di sana, memandangi layar laptopnya dengan wajah yang lumayan
serius. Sebelah tangannya memegangi cangkir kopi. Diam-diam kuperhatikan
wajahnya, garis-garis muka yang terlihat begitu serius memberi kesan tersendiri
saat aku mencuri-curi pandang, hidungnya yang mancung, bibir dengan bentuk yang
pas, tidak terlalu tebal tapi juga tidak tipis. Dan sepasang mata berwarna
coklat yang bening. Kalau boleh jujur, aku paling menyukai bagian matanya. Seksi.
Iya, aku selalu suka dengan orang yang memiliki sepasang mata berwarna coklat
dan belo. Meneduhkan seperti berada di
sebuah taman yang penuh dengan bunga-bunga bermekaran. Menentramkan seperti
pelukan ibu di rumah.
Tiba-tiba, lelaki yang kupandangi itu, menoleh kepadaku. Terang saja, aku
gelagapan. Aku lekas meraih cangkir kopiku lalu kuteguk pelan. Seolah-olah yang
tadi adalah sebuah ketidaksengajaan. Dari ekor mataku, aku tahu ia cukup lama
ia menoleh ke arahku, mungkin menerka-nerka mengapa aku tadi memandanginya dari
sini. Dan setelah yakin bahwa ia sudah tak melihatku, aku menaruh cangkir
kembali di atas meja. Hampir saja.
Namun, harus kuakui bahwa ketidaksengajaan yang kulakukan kali ini adalah
hal yang kunikmati dan membuatku mengulanginya berulang-ulang kali. Seperti tidak
puas setelah tadi cukup lama memperhatikan wajahnya, kali ini aku memperhatikan
kedua lengannya. Lengan yang besar
dibalut dengan kulit berwarna sawo matang membuatku menerka-nerka,
seperti apa rasanya dipeluk oleh lengan yang seperti itu? Ah aku mulai meracau tidak jelas. Mana mungkin aku memikirkan hal
seperti itu, aku sepertinya terlalu banyak nonton ftv.
Lalu, kudengar derit pintu coffee
shop kembali. Seorang perempuan sebayaku masuk ke dalam coffee shop. Kuperhatikan perempuan itu,
ia sama sepertiku, mengenakan jilbab dan juga berkacamata. Hanya saja bentuk
tubuhnya sedikit lebih kecil dariku. Tingginya pun mungkin kira-kira hanya
sebatas bahuku. Ia mengenakan baju kaos berwarna putih lalu dibungkus dengan cardigan fringe bermotif bunga. Manis. Warna jilbabnya senada dengan cardigan yang ia kenakan. Tapi tunggu
dulu, perempuan itu melangkah ke meja seberang, tempat lelaki bermata cokelat
itu duduk. Dan tanpa ragu, perempuan itu meletakkan tangannya di atas tangan
lelaki itu sembari tersenyum simpul. Lelaki itu kemudian kulihat membalas
senyumannya dan menarik kursi untuk perempuan itu duduk di sampingnya. Mereka tampak
begitu akrab satu sama lain. Mataku tak henti-hentinya mencuri pandang ke arah
meja mereka, mencoba mencuri dengar percakapan-percakapan kecil yang
menimbulkan gelak tawa sederhana.
“Happy anniversary ya. Tahun ketiga kan?”
“Happy anniversary juga. Iya, tahun ketiga kita sama-sama. Semoga selalu
seperti itu!”
Percakapan itu mampir begitu saja di telingaku. Aku berharap semoga
telingaku sedang tidak berfungsi dengan baik sewaktu mendengar hal tersebut. Namun,
setelah mendengar lebih jauh, aku tahu bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Dan
tiba-tiba, lelaki itu mengelus pelan kepala perempuan yang dibalut jilbab
berwarna merah muda. Bersamaan dengan itu, aku beranjak meninggalkan mejaku. Menyisakan
expresso yang masih setengah cangkir.
Aku tidak menghabiskannya sebab aku tahu, rasanya akan lebih pahit daripada
ampas yang ada di dasar cangkir.
0 komentar:
Posting Komentar