Kamis, 22 Oktober 2015

Bagiku, Dimaafkan Tak Pernah Sehangat Ini

Diposting oleh Ratu Nur Faradhibah di Kamis, Oktober 22, 2015 0 komentar
“Tak ada manusia yang sanggup mencintaimu selamanya. Temukan saja dia yang bersedia memaafkanmu sampai akhir.”-Falafu

Kesalahan berulang kali lahir dari makhluk yang kita sebut manusia. Saya pernah iseng-iseng menghitung berapa kali saya melakukan kesalahan dalam sehari dan jawabannya fantastis. Dalam sehari, saya bisa saja melakukan empat sampai lima kali kesalahan dalam waktu yang tidak juga berjarak terlalu lama. Dari situ saya bertanya lagi, “Adakah seseorang yang dalam sehari saja hanya melakukan sekali kesalahan? Atau bahkan mengaku tak pernah melakukan kesalahan dalam sehari?” Saya rasa yang seperti itu nihil. Entah itu disengaja atau tidak, kesalahan memang anak dari seorang manusia. Di mana pun dan kapan pun, kesalahan tak pernah sekalipun meninggalkan kita. Hanya saja kadang kita tidak sadar kalau yang kita lakukan itu adalah sebuah kesalahan yang mungkin saja bisa membuat orang lain yang berada di sekitar kita menjadi terusik, terganggu, atau bahkan bisa saja marah terhadap kita.
Lalu, saya kembali bertanya, “Dengan kesalahan yang tidak terbilang sedikit, adakah yang mampu menerima saya dan semua kesalahan-kesalahan itu?” Bukan. Bukan dia yang hari ini bisa menerima kesalahan saya lalu ketika keesokan hari saya secara tidak sengaja melakukan kesalahan yang lain , ia justru telah merasa lelah menerima saya dengan kesalahan baru saya. Maksud saya, adakah yang bisa secara terus menerus merasa bahwa memaafkan saya adalah kewajibannya karena ia percaya bahwa saya, yang sedang bersamanya adalah manusia biasa yang memang pada fitrahnya selalu berbarengan dengan sebuah kesalahan.
Saya cerewet, dan mungkin saja ia bisa menjadi risih atau muak dengan semua cerita saya. Itu kesalahan pertama.
Saya ceroboh, dan mungkin saja ia bisa menjadi panik dengan kecerobohanku. Itu kesalahan kedua.
Saya cengeng, dan mungkin saja ia bisa lelah menghadapi saya yang terlalu sensitif dan terlalu mudah mengeluarkan air mata. Itu kesalahan ketiga. Dan masih banyak sifat-sifat lain yang bisa saja menjadi penyebab dari lahirnya kesalahan-kesalahan saya setiap harinya. Jelas karena itu, saya membutuhkan ia yang bersedia memaafkan semuanya sampai akhir. Sebab, saya tahu, jika memaafkan saya saja ia selalu punya hati yang lapang, apalagi dengan hal mencintai. Ia mungkin bisa saja menyerahkan seluruh hatinya untuk saya. Tetapi, kembali lagi yang pernah dikatakan oleh kak Fara bahwa di dunia ini tak ada yang bisa mencintai selamanya, dan itu benar. Cukup temui ia yang berani memelukmu dengan semua kesalahanmu dan yang mencintaimu tanpa takut bahwa kamu bisa saja melukai perasaannya dengan kesalahanmu. Temui ia yang berbesar hati menerima kesalahanmu, memaafkanmu, dan pelan-pelan mengajarkanmu bahwa kesalahanmu adalah cela di mana ia bisa belajar mencintaimu lebih baik lagi.

Jadi, kamu bersedia memaafkan saya? (ngarep)

Rabu, 21 Oktober 2015

Kita Seajaib Ini....

Diposting oleh Ratu Nur Faradhibah di Rabu, Oktober 21, 2015 0 komentar
Pernah, dalam satu bagian di kehidupan, saya merasa kosong. Tiba-tiba, ada yang datang melegakan yang sesak, menenangkan yang penuh cemas, dan memeluk saat saya merasa sendiri. Tiba-tiba, kamu datang. Tanpa ba-bi-bu, tanpa permisi, tanpa canggung mulai membuat saya berpikir ulang tentang apa yang sudah saya jalani bersamanya selama ini. Kita berdua benar-benar tahu bahwa untuk berjalan bersama tidaklah pernah mudah. 
Kita tahu bahwa akan ada banyak tantangan yang menunggu kita, mencoba mematahkan kata-kata yang kita sebut janji, kesepakatan, komitmen, apapun itu namanya. Tetapi hidup memang selalu perihal mencoba, kan? Untuk tahu suatu hal ya cuma ada satu jalan; mencoba.
Berjalan denganku tidak mudah, menghadapi saya dengan sifat yang kebanyakan masih diisi dengan penuh rasa kekanak-kanakan. Inginku yang berubah-ubah dan emosi yang sewaktu-waktu bisa saja berada di luar ‘jalur’. Tetapi saya bersyukur terhadap apa yang kita lewati ternyata kamu masih sanggup menundukkan sifat kekanak-kanakanku juga mengusir rasa egois yang selama ini saya punya. Tidak sekalipun kamu marah lebih dari 24 jam. Tidak juga kamu pernah mendiamiku lebih dari sejam. Padahal saya tahu, kadang-kadang yang saya lakukan sudah sepantasnya menuai marahmu. Tapi lagi-lagi kesabaranmu berhasil membuat saya lebih menyayangimu lebih dari hari ini.
Berjalan denganmu juga tidak pernah lebih mudah, Sayang. Sewaktu-waktu kesabaranku harus berhadapan dengan besarnya ego. Keinginan untuk berpikir yang ‘tidak-tidak’ pun masih harus membuat saya lebih banyak belajar berpikir positif. Tetapi ternyata dengan begitu, mengajarkan saya bahwa hidup tak pernah menuntut kesempurnaan, melainkan penerimaan dari kita masing-masing. Sebesar apapun kekuranganmu, itu sudah menjadi kewajibanku untuk menerimanya. Bukannya malah menuntutmu agar menghilangkan kekurangan itu dan menggantinya dengan apa yang saya mau. Sebanyak apapun kekuranganmu, sudah menjadi tugasku untuk membuatmu merasa bahwa apa yang menjadi kurangmu itu ternyata bisa membuatmu dicintai seperti ini. Semoga kamu juga berpikiran seperti itu. Karena cinta yang baik selalu punya cara agar kamu merasa dibutuhkan dan dipercaya. 
Sewaktu-waktu kamu merasa perlu sendiri, kamu boleh pergi, berjalan jauhlah tanpa pernah lupa bahwa hati yang kuat selalu merasa perlu pulang ke ‘tempat’nya.

Minggu, 27 September 2015

Perihal Pantas atau Tidak Pantas........

Diposting oleh Ratu Nur Faradhibah di Minggu, September 27, 2015 0 komentar
“This is our time, forget the past
It’s our time we could make it last”—“Our Time,”-Secondhand Serenade

Semua orang berhak memiliki masa lalu, tidak peduli seindah atau sekelam apa pun itu. Tapi semua orang juga berhak memiliki rasa ingin mengubah masa lalu mereka. Hal ini yang sering menjadi bahan yang diperdebatkan oleh orang banyak; pantas atau tidaknya orang dengan masa lalu yang paling buruk sekalipun mendapatkan kesempatan emas dari kita; orang dengan masa lalu yang biasa biasa saja.
Awalnya saya seperti orang kebanyakan yang tidak setuju kalau orang dengan masa lalu buruknya itu mendapatkan kesempatan emas dari orang yang menurut saya hampir sempurna, maksudnya catatan masa lalunya ya biasa-biasa saja. Jelas saja itu tidak akan pernah adil, kan? Tetapi, makin ke sini dengan umur yang tentunya lebih menuntun ke arah yang lebih dewasa, saya sadar bahwa semua orang punya kesempatan, yang ada kadang hanyalah mereka yang tidak ingin memanfaatkan kesempatan tersebut untuk benar benar memberikan sisi terbaik yang mereka punya.
Seorang teman laki-laki pernah mengatakan suatu hal pada saya, singkatnya seperti ini, “Percaya deh, se-brengsek apa pun orang itu, akan ada waktu di mana dia merasa ingin menata hidup lebih serius dengan orang yang benar-benar paling baik menurutnya. Dan kalau saat itu sudah tiba, preman pasar akan berubah menjadi tipe calon pasangan idaman. Hahahaha.”
Dari situ, saya semakin sadar kalau perubahan itu memang benar adanya. Tidak peduli dengan siapa ia berhadapan, mau itu dengan orang yang paling nakal sekalipun atau yaa dengan orang yang paling jahat menurut kita. Dan masa lalu bukanlah sebuah hal yang seharusnya menjadi penghalang bagi orang yang ingin berubah untuk mendapatkan partner yang akan membantunya berubah sedikit demi sedikit.
Tapi bagaimana kalau perubahan atau perkataannya itu bersifat sementara?
Ini yang menjadi masalah selanjutnya. Tetapi lama kelamaan saya berpikir bahwa manusia memang hobi hidup dengan prasangka prasangka yang kebenarannya belum bisa dipastikan. Untuk apa memikirkan hal yang belum tentu terjadi? Untuk apa menyibukkan diri melahirkan pikiran negative pada seseorang hanya karena kita tahu bahwa orang itu dulunya seperti apa, misalnya dia nakal, dia suka bohong dsb. Kalau pun memang di kemudian hari orang itu kembali melakukan hal-hal yang sudah seharusnya ia tanggalkan, ya itu tugas kita sebagai pasangannya untuk kembali mengingatkannya, atau sekedar menegurnya. Bukan malah mengambil jalan pintas dengan meninggalkannya.
Lebih baik berjalan dengan mantan orang nakal dibanding mantan orang baik. Setidaknya orang nakal itu masih memikirkan jalan mana yang harusnya ia ambil untuk kembali menjadi lebih baik. Nah bagaimana dengan orang baik yang memilih menjadi lebih nakal? Saya sampai sekarang belum punya teori tentang itu.
Saya pernah ditanyai soal kenapa ingin memberi harapan kepada orang yang tidak seharusnya diberi kesempatan. Untuk menjawabnya, saya perlu diam beberapa waktu. Bukan memikirkan jawaban bijak yang akan saya berikan. Saya hanya ingin tahu, apakah langkah saya ini sudah benar? Memberikan kesempatan kepada orang yang menurut kebanyakan orang tidak pantas.
Dan sekitar lima menit memilih diam, saya hanya bertanya kembali kepada teman saya itu, “Kamu pernah mau berubah? Mengubah kebiasaan tidak baikmu menjadi lebih baik maksud saya.”
Dia mengernyitkan dahinya, bingung dengan pertanyaan saya. Tapi dia dengan sigap menganggukkan kepalanya.
“Lantas dalam perubahanmu itu mana yang lebih kamu pilih, berubah sendiri atau berubah dan ditemani dengan orang yang sudah lebih baik menurutmu?”
Ia diam. Lama sekali. Sampai saya menghabiskan makanan saya, dia masih belum bisa menjawab.
Saya memutuskan mendahuluinya, “Kalau saya pribadi, saya lebih memilih berubah dan ditemani dengan orang yang sudah lebih baik dari saya. Jelas jawabannya karena saya butuh dia untuk tahu apa yang saya perbuat ini sudah baik atau belum. Sudah seharusnya atau malah tidak seharusnya. Atau sederhananya, dengan adanya dia, saya lebih semangat dalam memperbarui diri saya sendiri agar memang pantas bersanding dengan dia yang sudah jauh lebih baik dari saya.”
Teman saya terdiam, dan setelah itu dia tersenyum, “Iya ya, lebih baik berubah dan ditemani dengan orang yang menurut kita sudah jauh lebih baik dari kita sendiri.”

Saya hanya balas tersenyum dan berbisik, “Mudah-mudahan, kita tidak pernah salah memberi kesempatan kepada orang yang benar-benar ingin berubah.” 

Senin, 21 September 2015

Berbicara Soal Pasangan

Diposting oleh Ratu Nur Faradhibah di Senin, September 21, 2015 0 komentar
“Don’t go looking for Mr. Right, look for Mr. Right-now. And eventually, if he’s worthy, then one day that ‘now’ part is just going to drop away. Naturally.”- Fly Me to The Sky

Seperti apa yang kamu mau?
Ganteng?
Pintar?
Tajir?
Atau yang benar-benar sempurna?

Hey, kamu cari pasangan apa cari paket super lengkap seperti yang ada di restoran restoran cepat saji? Memang benar ya manusia tidak pernah punya rasa puas yang cukup. Setelah dapat satu, ingin dapat dua. Setelah dapat dua, ingin dapat tiga dan begitu seterusnya sampai ia yakin bahwa semua yang ia inginkan benar-benar terwujud. Totally wrong. Life is when everything is not going as you plan it, Gaes
Coba lihat kembali daftar kriteria pasangan yang kalian inginkan. Saya yakin, setelah kalian menemukan seseorang dengan semua kriteria tersebut, kalian bukannya malah puas tetapi sebaliknya, merasa bosan.
Kenapa?
Karena pasangan menurut saya bukanlah checklist dari apa yang selama ini kita impikan. Bukan seperti pemain ftv kesukaan saya dan bukan juga seperti karakter yang ada dalam novel-novel roman picisan yang banyak beredar.
Pasangan menurut saya bukanlah yang membuat saya bahagia karena apa yang ia miliki adalah tidak lain dari yang selama ini saya cari. Bukan.
Bukan juga yang sengaja memunculkan kriteria kriteria impian saya hanya karena ia ingin membuat saya bangga telah memilihnya.
Lalu pasangan itu seperti apa?
Sebelum saya menjawab, pernahkah terpikir bahwa pasangan adalah tak lain seperti potongan-potongan puzzle? Kalian pasti tahu kan puzzle seperti apa? Setiap bagiannya punya sudut yang berbeda dari potongan puzzle yang lain. Dibuat seperti itu bukanlah tanpa tujuan melainkan agar mempermudah orang yang memainkannya untuk memasangkannya, karena sebenarnya, semakin mirip sudut-sudut yang dimiliki dari potongan-potongan puzzle tersebut, maka semakin kecil pula kemungkinan mereka untuk dipasangkan. Begitu pula halnya dengan pasangan. Semakin mirip kamu dengan pasanganmu semakin jauh pula kalian dari kata cocok. 
Semakin bingung ya? Oke, lanjut saja.
Menurut saya, pasangan tidak perlu seganteng Rio Dewanto atau se-charming Adam Levine. Cukup yang membuatmu tersenyum saat melihatnya, atau cukuplah yang bisa membuatmu berani menatapnya berlama-lama tanpa rasa bosan. Lagipula makin ke sini, yang ganteng pun seringnya suka sama yang ganteng pula. *ups*
Pintar? Menurut saya dan beberapa orang lainnya, ketika seseorang tersebut taqwa, pastilah dia pintar. Sebab, dia selalu ingat bahwa salah satu amalan yang tidak akan putus hingga akhir zaman adalah “ilmu yang bermanfaat”. Jadi, cukup mencari dia yang taqwa, sebab soal kepintaran dan sebagainya sudah pasti ada dalam dirinya kalau dia benar-benar orang yang taqwa.
Menurut saya, pasangan tidak perlu tajir. Sebab yang ‘berlebih’ kadang bukannya mendatangkan kebahagiaan malah sebaliknya. Cari saja pasangan yang rejekinya selalu dicukupkan, setidaknya cukup untuk membuatmu bahagia tanpa lupa bersyukur lebih sering lagi.
Lantas bagaimana dengan pasangan yang sempurna?
Kalian tahu arti sempurna? Sempurna adalah ketika Sylvester makan Tweety. Begitu dia berhasil menyantap si burung kuning itu, maka semua perjuangan selesai, dan usahan itu berakhir sempurna. Saat semuanya berakhir sempurna, serial Tweety-nya tamat. Betul, gak?
Lagi pula untuk apa selalu mencari yang sempurna padahal kita sudah hapal betul bahwa di dunia ini kesempurnaan hanya milik Tuhan. Selebihnya adalah usaha saling menyempurnakan satu sama lain. Begitu pun halnya dengan pasangan. Dia cuek, ya berarti kamu yang harusnya sedikit lebih aktif. Kamu gampang marah, ya berarti dia yang harusnya lebih sabar.  Setelah yang seperti itu terpenuhi, kalian dengan sendirinya akan merasa sempurna tanpa mempedulikan apakah masing-masing dari kalian memang memiliki kriteria sempurna seperti kebanyakan ftv dan novel-novel percintaan lainnya.
Secara pribadi, saya lebih butuh pasangan yang setia. Sebab, sampai hari ini saya masih belajar untuk hal (sulit) yang satu itu dan membutuhkan orang yang lebih dulu bisa setia agar kelak ia bisa membuat saya bertahan meski tahu di depan sana akan selalu ada kebahagiaan lain yang belum pernah kita cicipi. Karena pada akhirnya, saya perlu hidup dengan orang yang selalu menemani saat hidup sedang sempit-sempitnya. Dan tetap mencintai saya setelah ada banyak kekecewaan dan rasa sakit yang muncul di antara saya dan dia.
Kenapa harus yang setia? Sebab nantinya, menikah bukanlah perihal kamu dan dia saja. Tapi juga perihal anak-anakmu kelak. Maka dari itu, hiduplah dengan orang yang benar-benar ingin tumbuh lebih baik denganmu. Dengan orang yang setia berjalan di sisimu karena ia tahu, perempuan selalu butuh perlindungan dan teman berbagi yang selalu ada.

Pasangan bukan orang yang hanya sehari atau dua hari menemani, tetapi kalau bisa dan diijinkan, pasangan adalah orang yang selamanya akan menjadi teman berbagi pahala dan dosa di dunia dan di akhirat kelak. Pasangan adalah orang yang membuatmu berhenti mengeluh tentang sulitnya hidup, karena kamu sadar bahwa selama kamu punya dia, kesulitan itu tak cukup kuat untuk membunuh semangatmu. Pasangan adalah orang selalu bisa membuatmu bahagia walau hanya dalam bentuk  peluk juga kecup di sela sela kesibukannya yang seabrek.“Don’t go looking for Mr. Right, look for Mr. Right-now. And eventually, if he’s worthy, then one day that ‘now’ part is just going to drop away. Naturally.”- Fly Me to The Sky

Seperti apa yang kamu mau?
Ganteng?
Pintar?
Tajir?
Atau yang benar-benar sempurna?
Hey, kamu cari pasangan apa cari paket super lengkap seperti yang ada di restoran restoran cepat saji? Memang benar ya manusia tidak pernah punya rasa puas yang cukup. Setelah dapat satu, ingin dapat dua. Setelah dapat dua, ingin dapat tiga dan begitu seterusnya sampai ia yakin bahwa semua yang ia inginkan benar-benar terwujud. Totally wrong. Life is when everything is not going as you plan it, Gaes. \
Coba lihat kembali daftar kriteria pasangan yang kalian inginkan. Saya yakin, setelah kalian menemukan seseorang dengan semua kriteria tersebut, kalian bukannya malah puas tetapi sebaliknya, merasa bosan.
Kenapa?
Karena pasangan menurut saya bukanlah checklist dari apa yang selama ini kita impikan. Bukan seperti pemain ftv kesukaan saya dan bukan juga seperti karakter yang ada dalam novel-novel roman picisan yang banyak beredar.
Pasangan menurut saya bukanlah yang membuat saya bahagia karena apa yang ia miliki adalah tidak lain dari yang selama ini saya cari. Bukan.
Bukan juga yang sengaja memunculkan kriteria kriteria impian saya hanya karena ia ingin membuat saya bangga telah memilihnya.
Lalu pasangan itu seperti apa?
Sebelum saya menjawab, pernahkah terpikir bahwa pasangan adalah tak lain seperti potongan-potongan puzzle? Kalian pasti tahu kan puzzle seperti apa? Setiap bagiannya punya sudut yang berbeda dari potongan puzzle yang lain. Dibuat seperti itu bukanlah tanpa tujuan melainkan agar mempermudah orang yang memainkannya untuk memasangkannya, karena sebenarnya, semakin mirip sudut-sudut yang dimiliki dari potongan-potongan puzzle tersebut, maka semakin kecil pula kemungkinan mereka untuk dipasangkan. Begitu pula halnya dengan pasangan. Semakin mirip kamu dengan pasanganmu semakin jauh pula kalian dari kata cocok. Semakin bingung ya? Oke, lanjut saja.
Menurut saya, pasangan tidak perlu seganteng Rio Dewanto atau se-charming Adam Levine. Cukup yang membuatmu tersenyum saat melihatnya, atau cukuplah yang bisa membuatmu berani menatapnya berlama-lama tanpa rasa bosan. Lagipula makin ke sini, yang ganteng pun seringnya suka sama yang ganteng pula. *ups*
Pintar? Menurut saya dan beberapa orang lainnya, ketika seseorang tersebut taqwa, pastilah dia pintar. Sebab, dia selalu ingat bahwa salah satu amalan yang tidak akan putus hingga akhir zaman adalah “ilmu yang bermanfaat”. Jadi, cukup mencari dia yang taqwa, sebab soal kepintaran dan sebagainya sudah pasti ada dalam dirinya kalau dia benar-benar orang yang taqwa.
Menurut saya, pasangan tidak perlu tajir. Sebab yang ‘berlebih’ kadang bukannya mendatangkan kebahagiaan malah sebaliknya. Cari saja pasangan yang rejekinya selalu dicukupkan, setidaknya cukup untuk membuatmu bahagia tanpa lupa bersyukur lebih sering lagi.
Lantas bagaimana dengan pasangan yang sempurna?
Kalian tahu arti sempurna? Sempurna adalah ketika Sylvester makan Tweety. Begitu dia berhasil menyantap si burung kuning itu, maka semua perjuangan selesai, dan usahan itu berakhir sempurna. Saat semuanya berakhir sempurna, serial Tweety-nya tamat. Betul, gak?
Lagi pula untuk apa selalu mencari yang sempurna padahal kita sudah hapal betul bahwa di dunia ini kesempurnaan hanya milik Tuhan. Selebihnya adalah usaha saling menyempurnakan satu sama lain. Begitu pun halnya dengan pasangan. Dia cuek, ya berarti kamu yang harusnya sedikit lebih aktif. Kamu gampang marah, ya berarti dia yang harusnya lebih sabar.  Setelah yang seperti itu terpenuhi, kalian dengan sendirinya akan merasa sempurna tanpa mempedulikan apakah masing-masing dari kalian memang memiliki kriteria sempurna seperti kebanyakan ftv dan novel-novel percintaan lainnya.
Secara pribadi, saya lebih butuh pasangan yang setia. Sebab, sampai hari ini saya masih belajar untuk hal (sulit) yang satu itu dan membutuhkan orang yang lebih dulu bisa setia agar kelak ia bisa membuat saya bertahan meski tahu di depan sana akan selalu ada kebahagiaan lain yang belum pernah kita cicipi. Karena pada akhirnya, saya perlu hidup dengan orang yang selalu menemani saat hidup sedang sempit-sempitnya. Dan tetap mencintai saya setelah ada banyak kekecewaan dan rasa sakit yang muncul di antara saya dan dia.
Kenapa harus yang setia? Sebab nantinya, menikah bukanlah perihal kamu dan dia saja. Tapi juga perihal anak-anakmu kelak. Maka dari itu, hiduplah dengan orang yang benar-benar ingin tumbuh lebih baik denganmu. Dengan orang yang setia berjalan di sisimu karena ia tahu, perempuan selalu butuh perlindungan dan teman berbagi yang selalu ada.
Pasangan bukan orang yang hanya sehari atau dua hari menemani, tetapi kalau bisa dan diijinkan, pasangan adalah orang yang selamanya akan menjadi teman berbagi pahala dan dosa di dunia dan di akhirat kelak. Pasangan adalah orang yang membuatmu berhenti mengeluh tentang sulitnya hidup, karena kamu sadar bahwa selama kamu punya dia, kesulitan itu tak cukup kuat untuk membunuh semangatmu. Pasangan adalah orang selalu bisa membuatmu bahagia walau hanya dalam bentuk  peluk juga kecup di sela sela kesibukannya yang seabrek. 

Minggu, 20 September 2015

Di Antara Kehilangan dan Kebahagiaan

Diposting oleh Ratu Nur Faradhibah di Minggu, September 20, 2015 0 komentar
Bagaimana rasanya kehilangan setelah sekian lama hidup dalam kebahagiaan?
Bagaimana rasanya kebahagiaan itu setelah sekian lama hidup dalam cengkraman kehilangan?
Semua punya rasa yang berbeda.
Dan saya sadar, ternyata Tuhan selalu menyisipkan kebahagiaan entah sekecil apa pun itu di setiap perasaan sakit yang kita alami, termasuk saat kehilangan.
Dua tahun bukanlah waktu yang singkat. Buktinya, kita sudah ‘saling’. Saling memahami, saling mencintai, saling menyayangi, saling mengerti, tapi sayang kita belum cukup saling meyakinkan hati masing-masing agar terus bertahan di tengah terpaan angin yang menghampiri. Bukan kamu yang gagal, bukan juga saya. Ada hal lain yang terlupakan dari masing-masing kita bahwa setiap pertemuan selalu mengantar kita pada perpisahan-perpisahan yang baru. Dan itulah yang terjadi. Dari awal, kita mungkin kurang menyiapkan diri bahwa bisa saja kelak kita akan berpisah tanpa peduli hal yang mendasari perpisahan. Dari awal, kita terlalu sibuk merancang bagian-bagian yang membuat kita bahagia saja tanpa menyadari bahwa hidup selalu adil, di mana ada bahagia di situ pun ada kesedihan. Hingga sampai bagian di mana kita memang benar-benar memutuskan untuk tidak lagi diiringi dan beriiringan, tidak lagi saling menggenggam dan menyemangati. Sedih. Kecewa. Marah. Semua itu adalah lumrah adanya. Dua tahun bukanlah waktu yang mudah untuk saling menyelami satu sama lain hingga harus diakhiri karena mungkin alasan yang menurutmu konyol. Saya pun sempat menitikkan air mata ketika keputusan itu terlontar. Mendadak rekaman rekaman yang telah kita lewati terputar ulang kembali, membuat saya bertanya, “Sudah benarkah yang saya putuskan ini? Apa saya tidak akan menyesal?” tetapi saya lagi-lagi sadar bahwa hidup adalah soal mengambil keputusan dan menjalani resikonya. Oleh karena itu, sekali saya melangkah, saya harus bisa kuat menghadapi apa yang aka nada di depan sana.
Hari ini, saya kembali merenung tentang segalanya. Ternyata kita tidak berpisah untuk merasakan kehilangan, tetapi untuk merasakan kebahagiaan yang baru. Kamu dengan usaha yang gigih untuk menyelesaikan studimu dan saya dengan usaha dan semangat yang baru untuk kuliah dan mengusahakan apa yang saya inginkan. Bukankah itu sebuah kebahagiaan jika nantinya masing-masing dari kita mendapatkan apa yang seharusnya kita dapatkan? Saya harap seperti itu sebab untuk merasa baik-baik saja, kita harus melewati fase ketidak baik-baik-an, dan kehilangan merupakan salah satu dari fase tersebut.
Terima kasih untuk dua tahun yang tidak terbayar ini.
Terima kasih untuk semua yang pernah kita lewati dan kita perjuangkan sama-sama.
Bukan salah kita kalau hari ini ternyata apa yang kita lewati itu tidak cukup menguatkan kita untuk terus bersama. Sebab, sepertinya akan selalu ada kebahagiaan lain yang disiapkan untuk kita masing-masing.


Kamis, 05 Februari 2015

Segala yang (bisa) Hilang

Diposting oleh Ratu Nur Faradhibah di Kamis, Februari 05, 2015 0 komentar
Bangun, mandi, sarapan, lalu bergegas kekantor. Semuanya seperti itu setiap hari, selalu terburu-buru seperti pagi. Kadang aku sebal mengingat hari selalu punya pagi, sebab pagi adalah satu-satunya yang mampu merebutmu dariku. Iya kan? Akuilah! Kadang kita tak lagi sempat menanyakan kegiatan satu sama lain di pagi hari, sebab kamu sibuk dan terlalu sibuk untuk menanyakannya kepadaku. Sebab kamu akan lelah dan terlalu lelah untuk mengabariku apa saja kegiatanmu sepanjang hari itu.
Aku tidak suka pagi. Pagi membuatmu berubah, dari seorang yang tenang menjadi terburu-buru. Dari seorang yang penuh perhatian menjadi cuek. Dari seorang yang kontrol emosinya bagus menjadi gampang emosi. Dari seorang yang selalu menjinakkan rindu menjadi acuh akan rindu. Kamu berubah, bukan karena kamu ingin kita berkenalan lalu saling jatuh cinta kembali. Bukan.
Padahal akhir-akhir ini, rindu berada pada kasta tertinggi. Kata seorang senior, rindu berada pada kasta tertinggi saat ia memutuskan untuk menyimpan sendiri. Namun, aku harus meminta maaf lebih awal jika nantinya aku tidak lagi peduli padamu dan segala yang berhubungan denganmu, itu saatnya kamu harus tahu bahwa rindu terbiasa kalah dari rasa “tahu diri”. Sebab tak ada yang pandai bersembunyi lama-lama, tidak juga rindu. Ia sesekali butuh kecup di kening lalu ia akan balas dengan cium di punggung telapak tanganmu. Sebab rindu serupa rumah yang membutuhkan penghuni. Tak ada penghuni, maka hancurlah rindu dikoyak diri sendiri. Begitulah rindu, ia terkadang membuatmu seperti semut, yang tetap akan memilih masuk dalam gelas berisi teh manis meski tahu nantinya ia akan berakhir mati tenggelam di dalam sana.

Aku tidak tahu kapan kamu tidak lagi mati rasa terhadap rindu. Yang aku takutkan bila nanti kamu mulai pulih dan sudah bukan aku yang akan ‘merawatmu’ sampai benar-benar pulih. Yang aku pikirkan bila nanti kamu mulai menagih rinduku dan ternyata semuanya telah raib, entah menguap atau apa. Tetapi, bila seperti itu, mungkin kita bisa saling menyadari bahwa sebaik apa pun ‘rumah’, jika ia telah memilih pergi, pasti akan pergi juga. Seperti cinta yang memilih pergi, sekuat apa pun kamu menahan atau sebagus apa pun janji yang kamu berikan padanya, jika ia pergi maka pergilah. Tak ada yang bisa bertahan dalam ketidakpastian. Tidak rindu, cinta, pun aku. 

Rabu, 04 Februari 2015

Lebih Pahit

Diposting oleh Ratu Nur Faradhibah di Rabu, Februari 04, 2015 0 komentar
We know the sound of two hands clapping. But what is the sound of one hand clapping?” – A Zen Koan

“Saya mau expresso satu, Mbak!”
“Small atau reguler?”
“Reguler. Saya duduk di meja pojok sana ya!”
Saya meninggalkan meja kasir sekaligus tempat pemesanan kopi sembari memainkan handphoneku. Hari itu aku tidak punya jadwal apa-apa. Kebetulan kampus sedang libur dan akhirnya aku memutuskan untuk duduk seharian di coffee shop yang baru buka di kotaku. Tempatnya cozy, tidak terlalu ramai. Mungkin karena masih pagi dan aku datangnya terlalu cepat.
Aku menempati meja paling pojok. Sengaja agar nanti jika pengunjung sudah mulai ramai, aku tetap mendapati ketenanganku di sini. Sekilas, kuperhatikan desain-desain ruangan tersebut. Ada banyak pajangan yang menempati dinding-dindingnya. Bukan lukisan seperti umumnya yang dipajang, melainkan penggalan-penggalan quotes yang bersifat menyemangati para pengunjung yang datang. Ah, hari ini, orang-orang lebih termotivasi dengan quote dibanding keadaan dan orang sekitarnya. Aku sendiri tipikal orang yang tidak terlalu menuhankan quote . Suka baca tetapi tidak juga menjadikannya sebagai sesuatu yang spesial.
Expressonya, Mba! Silahkan menikmati!” Tiba-tiba suara itu membuyarkan pikiranku. Ternyata, pesananku sudah datang. Perlahan, kusesap expressoku, menikmati setiap teguk demi teguk. Sudah berapa lama tidak ngopi? Sebulan...dua bulan...ah sepertinya memang sudah lama dan pilihanku untuk ngopi pada hari itu tidak keliru.
Hening.
Sunyi.
Aku suka suasananya. Seperti sedang berada di .....aku mencoba mengingat-ingat tempat tersepi yang pernah kudatangi tetapi tiba-tiba, grasak-grusuk seorang lelaki yang memasuki coffee shop membuatku menoleh. Ia mengenakan t-shirt Polo dan celana kargo. Di bahunya tersampir tas ransel dengan tulisan National Geographic yang cukup besar. Aku memperhatikan wajahnya, bentuk tubuhnya, dan juga stylenya. Kuperkirakan umurnya empat tahun lebih tua dariku.
Lelaki itu menempati meja di seberang mejaku. Ia membuka ranselnya dan mengeluarkan laptop serta kameranya serta meletakkan handphonenya tidak jauh dari kameranya. “Anak gadget rupanya,”  timpalku dalam hati. Setelah menaruh barang-barangnya di atas meja, ia bergegas memesan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang akan dipesannya, toh tidak penting juga. Kami tidak pernah bertemu sebelumnya dan ia bukan temanku.
Aku mengalihkan pandanganku keluar jendela. Tampak jalanan di depan coffee shop mulai padat. Maklum, hari ini weekend dan orang berlomba-lomba memanfaatkan waktu weekendnya mungkin untuk sekedar berjalan-jalan dengan orang-orang terdekatnya.  Bosan memandangi jalan raya, mataku kembali berputar, mencari objek menarik untuk diperhatikan. Tetapi, mengapa mataku harus berhenti di meja seberang? Tempat lelaki yang baru datang tadi.
Ia ada di sana, memandangi layar laptopnya dengan wajah yang lumayan serius. Sebelah tangannya memegangi cangkir kopi. Diam-diam kuperhatikan wajahnya, garis-garis muka yang terlihat begitu serius memberi kesan tersendiri saat aku mencuri-curi pandang, hidungnya yang mancung, bibir dengan bentuk yang pas, tidak terlalu tebal tapi juga tidak tipis. Dan sepasang mata berwarna coklat yang bening. Kalau boleh jujur, aku paling menyukai bagian matanya. Seksi. Iya, aku selalu suka dengan orang yang memiliki sepasang mata berwarna coklat dan belo. Meneduhkan seperti  berada di sebuah taman yang penuh dengan bunga-bunga bermekaran. Menentramkan seperti pelukan ibu di rumah.
Tiba-tiba, lelaki yang kupandangi itu, menoleh kepadaku. Terang saja, aku gelagapan. Aku lekas meraih cangkir kopiku lalu kuteguk pelan. Seolah-olah yang tadi adalah sebuah ketidaksengajaan. Dari ekor mataku, aku tahu ia cukup lama ia menoleh ke arahku, mungkin menerka-nerka mengapa aku tadi memandanginya dari sini. Dan setelah yakin bahwa ia sudah tak melihatku, aku menaruh cangkir kembali di atas meja.  Hampir saja.
Namun, harus kuakui bahwa ketidaksengajaan yang kulakukan kali ini adalah hal yang kunikmati dan membuatku mengulanginya berulang-ulang kali. Seperti tidak puas setelah tadi cukup lama memperhatikan wajahnya, kali ini aku memperhatikan kedua lengannya. Lengan yang besar  dibalut dengan kulit berwarna sawo matang membuatku menerka-nerka, seperti apa rasanya dipeluk oleh lengan yang seperti itu? Ah aku mulai meracau tidak jelas. Mana mungkin aku memikirkan hal seperti itu, aku sepertinya terlalu banyak nonton ftv.
Lalu, kudengar derit pintu coffee shop kembali. Seorang perempuan sebayaku masuk ke dalam coffee shop. Kuperhatikan perempuan itu, ia sama sepertiku, mengenakan jilbab dan juga berkacamata. Hanya saja bentuk tubuhnya sedikit lebih kecil dariku. Tingginya pun mungkin kira-kira hanya sebatas bahuku. Ia mengenakan baju kaos berwarna putih lalu dibungkus dengan cardigan fringe bermotif bunga. Manis. Warna jilbabnya senada dengan cardigan yang ia kenakan. Tapi tunggu dulu, perempuan itu melangkah ke meja seberang, tempat lelaki bermata cokelat itu duduk. Dan tanpa ragu, perempuan itu meletakkan tangannya di atas tangan lelaki itu sembari tersenyum simpul. Lelaki itu kemudian kulihat membalas senyumannya dan menarik kursi untuk perempuan itu duduk di sampingnya. Mereka tampak begitu akrab satu sama lain. Mataku tak henti-hentinya mencuri pandang ke arah meja mereka, mencoba mencuri dengar percakapan-percakapan kecil yang menimbulkan gelak tawa sederhana.
“Happy anniversary ya. Tahun ketiga kan?”
“Happy anniversary juga. Iya, tahun ketiga kita sama-sama. Semoga selalu seperti itu!”

Percakapan itu mampir begitu saja di telingaku. Aku berharap semoga telingaku sedang tidak berfungsi dengan baik sewaktu mendengar hal tersebut. Namun, setelah mendengar lebih jauh, aku tahu bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Dan tiba-tiba, lelaki itu mengelus pelan kepala perempuan yang dibalut jilbab berwarna merah muda. Bersamaan dengan itu, aku beranjak meninggalkan mejaku. Menyisakan expresso yang masih setengah cangkir. Aku tidak menghabiskannya sebab aku tahu, rasanya akan lebih pahit daripada ampas yang ada di dasar cangkir. 

Selasa, 03 Februari 2015

Kesibukanmu

Diposting oleh Ratu Nur Faradhibah di Selasa, Februari 03, 2015 2 komentar
How’s life today?
Seharusnya itu yang pertama kali kutanyakan saat kamu tiba di rumah selepas kerja. Lalu setelah itu, aku yakin kau akan bercerita panjang lebar tentang pekerjaanmu di kantor, tentang kemacetan Ibukota, tentang resepsionis kantor yang mungkin cantik (?), atau tentang apa saja yang menjadi pengisi harimu di sana setelah kita tidak lagi dalam satu kota yang sama.
Iya, seharusnya. Namun tidak kulakukan. Sebab aku tahu, kamu terlalu sibuk dan terlalu capek untuk menceritakan pengalamanmu di setiap harinya. Terkadang di sela-sela waktu kita saling bbm-an, kamu jatuh tertidur. Aku mengerti, mencoba memaklumi. Terkadang di sela-sela keseruan kita bercerita di bbm, kamu menghilang entah ke mana. Aku lagi-lagi mengerti, berusaha keras memaklumi.
Kamu sibuk.
Kita sibuk.
Dan perubahan-perubahan itu ada.
Kita tidak lagi menyediakan waktu untuk ‘kita’. Kita hanyalah sepasang yang saling bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan masing-masing, bersama siapa, dan di mana dalam bentang jarak yang bukan sekedar jarak seperti antara ruang tidurku dan kamar mandi. Bukan. Kita banyak berubah. Mulai dari kehilangan waktu bercerita berdua, waktu jalan-jalan berdua, dan segala yang pernah kita lewati bersama selama kurang lebih setahun belakangan ini. Tetapi, seseorang dalam akun Twitternya pernah berkata, “Suatu waktu kita akan saling tahu, cinta tidak melulu soal rindu. Tapi pikiran-pikiran yang ingin kita tuju.” Iya, dia benar. Kurang lebih enam bulan kita tidak sekota dan tidak pernah bertemu, membuatku kadang berpikir panjang bahwa cinta tidak melulu soal pertemuan atau laporan kangen yang menye-menye adanya. Tetapi cinta terkadang perihal pikiran-pikiran, rencana-rencana yang telah kita susun dari nol hingga sekarang, hingga hubungan ini hampir dua tahun adanya. Sebab, dengan mengingat hal tersebut, aku kembali sadar bahwa tidak seharusnya aku menuntut macam-macam kepadamu. Aku seharusnya menyemangatimu setiap harinya, hingga nanti kamu sadar bahwa aku adalah malam yang menunggu paginya dan seterusnya akan begitu.
Tetapi, ingatkah kamu bahwa aku adalah perempuan?
Perempuan dengan segala keterbatasan.
Perempuan dengan segala prasangka pun gelisah yang terkadang tak bisa terkontrol.
Perempuan yang terkadang masih juga kalah dengan emosi sesaat.
Perempuan yang pandai mengatakan, “Tidak, tidak ada, dan tidak apa-apa.”
Iya, aku begitu perempuan.  Dan terkadang, di sela waktu yang ada, seseorang pernah mengatakan padaku, “Kamu pantas dipeluk, bukan oleh lengan yang tidak peduli bagaimana perasaanmu. Kamu pantas digenggam erat-erat, bukan oleh tangan yang hobi mengabaikanmu.” Dari situ, pertahananku sempat ingin goyah. Namun, kugelengkan kepalaku. Tidak, aku masih berada dalam lengan yang benar. Hanya saja, lengan itu untuk saat ini berjarak denganku. Tetapi, rasa lengan itu tetap sama, tetap hangat dan melindungi. Hanya saja, lengan itu kini punya kesibukan yang lain. Bukan hanya untuk merengkuh, memeluk, atau menarikku lebih dekat dengannya, tetapi juga lengan itu kini berusaha mewujudkan sebuah impiannya.

Sibuklah! Sibuklah hingga kamu sadar bahwa kamu masih tetap punya aku sebagai ‘rumah’ tempat kembali setelah seharian berlalu-lalang di luar sana. Sibuklah! Sibuklah hingga kamu sadar bahwa di sini ada perasaan yang tabah menunggu Tuannya pulang. 

Senin, 02 Februari 2015

Ayah dan Tangis di Malam Hari

Diposting oleh Ratu Nur Faradhibah di Senin, Februari 02, 2015 2 komentar
Selamat memasuki hari keempat menulis surat cinta! Selamat menulis! Meskipun tahun ini saya terlambat untuk ikut program #30hariMenulisSuratCinta, saya tahu bahwa saya harus tetap menulis. Iya, karena ada banyak cinta yang tidak sampai kepada orang yang seharusnya. Maka dari itu, semoga dengan menulis surat, cinta yang tidak sampai atau rindu yang bertepuk sebelah tangan adanya bisa sampai dengan selamat kepada tuannya.
Dini hari, Makassar masih disetubuhi oleh hujan. Hujan deras sekali, mungkin sedang mencapai tingkat orgasmenya yang paling tinggi. Sekali dua kali aku mencoba memejamkan mata untuk tidur dan bermimpi di bawah selimut kesukaanku. Kamu tahu kan selimut kesukaanku? Iya, selimut yang warna merah jambu. Lembut dan hangat seperti pelukmu. Namun, sepertinya aku kembali mengalami gangguan sulit tidur sebab sudah hampir dua jam meringkuk di bawah selimut tetapi kedua mataku masih saja membelalak ke sana kemari, seolah mencari sesuatu yang janggal di dalam kamar tidurku sendiri. Siapa tahu di sudut kamar ada yang sedang berdiri memandangiku atau siapa tahu di bawah kolong tempat tidur ada sepasang tangan yang bergelayut mencari-cari tangan lain yang bisa ia genggam. Hii! Tidak...tidak...kuusir jauh-jauh rasa takut yang berlebih, kucoba memikirkan sesuatu yang lebih menarik. Dan apalagi selain kamu?
02.40. Jam dinding terus berdetak cepat, seolah-olah ia sedang jatuh cinta. Entah pada jam yang mana ia jatuh cinta, aku tidak tahu. Tiba-tiba, ada yang meluncur pelan dari pelupuk mataku. Mengalir...membentuk sungai kecil di ceruk pipiku yang kuperhatikan semakin hari semakin melebar saja. Mungkin pengaruh liburan? Atau mungkin pengaruh rindu yang berlebih? Entahlah.
Aku menangis, tangisan pertama di tahun 2015. Kuberitahu padamu, menangis dalam gelap malam dan dalam keadaan sendiri itu tidak pernah mengenakkan. Sesak, seperti ada yang mengganjal di dalam dada, tapi aku sendiri tidak pernah tahu apa gerangan yang ada di dalam sana. Tetapi, seperti biasanya, kubiarkan ia mengalir, mencari ‘hulu’ tempat ia bermuara. Sedang aku sibuk menerka-nerka, kepada siapa tangis ini ditujukan?
Lalu aku teringat ayah. Sebelum tidur, aku sempat beradu mulut dengan ayah. Perihal ketidak-disiplinanku dalam mengatur waktu. Ya, aku memang terlalu banyak main akhir-akhir ini, sampai-sampai aku melupakan beberapa kewajibanku. Namun, aku adalah anak sulung dengan ego yang besar adanya. Sewaktu ayah memarahiku, aku tidak pernah tinggal diam. Aku membantah ini-itu dan apa saja alasanku untuk menyatakan bahwa perkiraannya salah. Sampai aku lelah dan memutuskan untuk masuk ke kamar...mengunci diri selama beberapa jam tanpa sepatah kata pun. Ayah pun turut bungkam. Kami tidak berbicara sampai beranjak ke tempat tidur masing-masing.
Aku tahu aku salah, tetapi terkadang egois melampaui besarnya rasa bersalah kita sehingga kita menyadarinya nanti....di belakang hari. Aku tahu ayah punya maksud yang baik, ayah selalu ingin aku tumbuh menjadi perempuan yang disiplin, dengan time-manage yang bagus sehingga tidak ada satupun kegiatan yang keteteran. Tetapi, di satu sisi, aku selalu berpikir bahwa aku masih muda, pelan-pelan saja agar semuanya bisa kunikmati satu per satu. Ayah terlalu mengekangku sehingga ia lupa bahwa aku adalah aku, yang sebentar lagi memasuki usia ke 20 tahun dan itu berarti aku bukan lagi anak kecil. Aku punya hak menentukan apa pun dalam hidupku.
Iya, seperti itulah ayah; tegas untuk beberapa hal yang memang menurutnya patut untuk ditegasi. Namun, ayah tetaplah ayah. Marah seperti apa pun, aku tetap sayang. Sebab cinta yang tulus hanyalah darinya juga ibu. Sebab gurat-gurat lelah yang tercipta di wajahnya tak lain dan tak bukan karena berjuang memenuhi kebutuhanku, kebutuhan ibu, dan juga kebutuhan kedua adikku. Sebab setiap harapan yang ia gantung setinggi langit, pada akhirnya ia wasiatkan kepadaku dan juga kedua adikku. Aku selalu ingat acap kali ayah berkata, “Ayah sudah tua, pun ibu. Kalau pun ada beberapa hal yang belum ayah dan ibu wujudkan semasa hidup, itu menjadi tanggung jawab kalian untuk mewujudkannya.” Iya, ayah dan ibu semakin hari semakin menua. Rambut putihnya sudah ada di mana-mana, sifat pelupanya tak dapat disangkali, pandangannya yang semakin mengabur sehingga harus bergantung pada kacamata, dan kesehatan yang sesekali dikalahkan oleh beberapa penyakit. Aku menyadarinya. Dan terkadang, aku menitikkan air mata. Apa ayah dan ibu masih ingin menungguku untuk meraih apa yang selama ini selalu aku katakan di depan mereka? Apa ayah dan ibu masih ingin menunggu hingga tiba waktunya mereka berjalan di sampingku, mengapit aku yang menggunakan toga di atas kepala? Apa ayah dan ibu masih ingin menunggu hingga tiba waktunya ayah menjabat tangan lelaki lain yang ingin ‘merebut’ tanggung jawabnya selama ini atasku dan ibu yang melepaskan aku menuju ‘rumah’ yang baru? Apa ayah dan ibu masih ingin menunggu setahun...dua tahun setelah itu...aku membawakan mereka cucu-cucu yang lucu yang mungkin selama ini mereka impikan? Aku ingin mereka masih di sampingku, berjalan beriringan menyaksikan proses demi proses dalam hidupku, menyaksikan segala pencapaian yang sebenarnya kuhadiahkan untuk mereka. Dan semoga Tuhan berbaik hati mengabulkan keinginanku.

Tetapi lagi-lagi aku egois. Hanya melalui surat ini, aku mengucap maaf kepada ayah. Sebab aku terlalu besar untuk berlari ke pelukannya dan meminta maaf atas kesalahanku. Sebab aku sebenarnya terlalu malu untuk melakukan hal itu. Namun, percayalah, maafku adalah sesuatu yang tulus untuknya. Meski pun hanya lewat surat ini. 
 

Ratu Faradhibah Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei