Adalah banyak hal yang bisa menguap ketika menunggu merupakan sebuah pekerjaan. Dan kamu tahu? Kamu adalah orang pertama yang kutemui yang selalu membuatku mampu menunggu lebih lama. Bukan aku yang menguap, hanya saja waktu, kepul asap kopi kesukaanku, setangkup prasangka terbaru serta gelisah yang memburu perhatianmu yang mungkin menguap.
Seperti malam ini. Kamu lagi lagi membuatku menunggu. Sudah hampir setengah jam yang lalu aku duduk di kafe langganan kita. Memesan kopi kesukaanku dan andai saja bisa memesan kamu tepat waktu, aku sungguh sudah daritadi melakukan hal tersebut.
Pesan singkatmu pagi tadi membuatku menelan rasa penasaran yang luar biasa membuatku uring-uringan.
“Ada hal yang perlu kita bicarakan. Kafe Project, jam 8 malam ini.”
Maka, kupilih baju terbaik yang akan kukenakan untuk bertemu kamu malam ini. Dan hasilnya? Kau lagi-lagi membuatku menunggu. Tidak lima menit…sepuluh menit…tapi, kamu terlambat sudah lebih dari satu jam. Sudah beberapa kali kutengok handphoneku, kalau-kalau ada pesan singkat yang kamu kirimkan untuk sekedar mengabarkan sesuatu hal. Namun hasilnya nihil.
Inikah cinta? Aku tak pernah suka menunggu. Namun bersamamu, aku tahu rasanya menunggu. Sesekali mungkin kita bisa bertukar posisi, sehingga kamu tahu betapa pahitnya menjadi penunggu dan aku tahu betapa manisnya menjadi seseorang yang selalu ditunggu.
Kulirik jam di pergelangan tanganku. Sudah hampir jam 9 malam dan kamu belum juga nampak. Kucoba menghubungi nomor handphonemu namun tak digubris.
Andai kamu tahu, aku hanya ingin ini menjadi malam panjang bagiku. Kita saling bertukar cerita hingga dinding-dinding menepi, hingga malam melepas hingar-bingarnya dan hingga pagi mengetuk kewarasan kita.
***
"Sudah pukul berapa? Aku ada janji dengannya. Dia pasti sudah lama menunggu."
Seseorang di sisiku malah makin mempererat pelukannya. Seolah-olah tak pernah rela melepasku walau hanya semenit.
"Untuk apa kamu temui dia lagi? Sudah ada aku untukmu. Apa kamu tidak puas?"
Aku menggeleng.
"Aku hanya ingin menghabiskan satu malam panjang bersamanya. Mencermati senyumnya yang pucat. Membicarakan tentang apa saja yang mungkin membuatnya bisa selalu mengingatku."
"Kamu tidak boleh pergi, Roy. Aku tidak akan mengijinkanmu."
"Tapi aku sudah janji, Reza."
***
Aku masih menunggu hingga detak jam dinding semakin pelan. Para pelayan kafe mulai cemas melihatku yang tak kunjung beranjak.
Ini malam panjang yang pernah kamu buat untukku.
Makassar,2014