“This is our time, forget the
past
It’s our time we could make
it last”—“Our Time,”-Secondhand Serenade
Semua
orang berhak memiliki masa lalu, tidak peduli seindah atau sekelam apa pun itu.
Tapi semua orang juga berhak memiliki rasa ingin mengubah masa lalu mereka. Hal
ini yang sering menjadi bahan yang diperdebatkan oleh orang banyak; pantas atau
tidaknya orang dengan masa lalu yang paling buruk sekalipun mendapatkan
kesempatan emas dari kita; orang dengan masa lalu yang biasa biasa saja.
Awalnya
saya seperti orang kebanyakan yang tidak setuju kalau orang dengan masa lalu
buruknya itu mendapatkan kesempatan emas dari orang yang menurut saya hampir
sempurna, maksudnya catatan masa lalunya ya biasa-biasa saja. Jelas saja itu
tidak akan pernah adil, kan? Tetapi, makin ke sini dengan umur yang tentunya
lebih menuntun ke arah yang lebih dewasa, saya sadar bahwa semua orang punya
kesempatan, yang ada kadang hanyalah mereka yang tidak ingin memanfaatkan
kesempatan tersebut untuk benar benar memberikan sisi terbaik yang mereka
punya.
Seorang
teman laki-laki pernah mengatakan suatu hal pada saya, singkatnya seperti ini, “Percaya
deh, se-brengsek apa pun orang itu, akan ada waktu di mana dia merasa ingin
menata hidup lebih serius dengan orang yang benar-benar paling baik menurutnya.
Dan kalau saat itu sudah tiba, preman pasar akan berubah menjadi tipe calon
pasangan idaman. Hahahaha.”
Dari
situ, saya semakin sadar kalau perubahan itu memang benar adanya. Tidak peduli
dengan siapa ia berhadapan, mau itu dengan orang yang paling nakal sekalipun
atau yaa dengan orang yang paling jahat menurut kita. Dan masa lalu bukanlah
sebuah hal yang seharusnya menjadi penghalang bagi orang yang ingin berubah
untuk mendapatkan partner yang akan membantunya berubah sedikit demi sedikit.
Tapi
bagaimana kalau perubahan atau perkataannya itu bersifat sementara?
Ini
yang menjadi masalah selanjutnya. Tetapi lama kelamaan saya berpikir bahwa
manusia memang hobi hidup dengan prasangka prasangka yang kebenarannya belum
bisa dipastikan. Untuk apa memikirkan hal yang belum tentu terjadi? Untuk apa
menyibukkan diri melahirkan pikiran negative pada seseorang hanya karena kita
tahu bahwa orang itu dulunya seperti apa, misalnya dia nakal, dia suka bohong
dsb. Kalau pun memang di kemudian hari orang itu kembali melakukan hal-hal yang
sudah seharusnya ia tanggalkan, ya itu tugas kita sebagai pasangannya untuk
kembali mengingatkannya, atau sekedar menegurnya. Bukan malah mengambil jalan
pintas dengan meninggalkannya.
Lebih
baik berjalan dengan mantan orang nakal dibanding mantan orang baik. Setidaknya
orang nakal itu masih memikirkan jalan mana yang harusnya ia ambil untuk
kembali menjadi lebih baik. Nah bagaimana dengan orang baik yang memilih
menjadi lebih nakal? Saya sampai sekarang belum punya teori tentang itu.
Saya
pernah ditanyai soal kenapa ingin memberi harapan kepada orang yang tidak
seharusnya diberi kesempatan. Untuk menjawabnya, saya perlu diam beberapa
waktu. Bukan memikirkan jawaban bijak yang akan saya berikan. Saya hanya ingin
tahu, apakah langkah saya ini sudah benar? Memberikan kesempatan kepada orang
yang menurut kebanyakan orang tidak pantas.
Dan
sekitar lima menit memilih diam, saya hanya bertanya kembali kepada teman saya
itu, “Kamu pernah mau berubah? Mengubah kebiasaan tidak baikmu menjadi lebih
baik maksud saya.”
Dia
mengernyitkan dahinya, bingung dengan pertanyaan saya. Tapi dia dengan sigap
menganggukkan kepalanya.
“Lantas
dalam perubahanmu itu mana yang lebih kamu pilih, berubah sendiri atau berubah
dan ditemani dengan orang yang sudah lebih baik menurutmu?”
Ia
diam. Lama sekali. Sampai saya menghabiskan makanan saya, dia masih belum bisa
menjawab.
Saya
memutuskan mendahuluinya, “Kalau saya pribadi, saya lebih memilih berubah dan
ditemani dengan orang yang sudah lebih baik dari saya. Jelas jawabannya karena
saya butuh dia untuk tahu apa yang saya perbuat ini sudah baik atau belum. Sudah
seharusnya atau malah tidak seharusnya. Atau sederhananya, dengan adanya dia,
saya lebih semangat dalam memperbarui diri saya sendiri agar memang pantas
bersanding dengan dia yang sudah jauh lebih baik dari saya.”
Teman
saya terdiam, dan setelah itu dia tersenyum, “Iya ya, lebih baik berubah dan
ditemani dengan orang yang menurut kita sudah jauh lebih baik dari kita
sendiri.”
Saya
hanya balas tersenyum dan berbisik, “Mudah-mudahan, kita tidak pernah salah
memberi kesempatan kepada orang yang benar-benar ingin berubah.”
0 komentar:
Posting Komentar