Kata seorang penulis terkenal yang selalu kukagumi, cinta
itu benar adanya. Sebenar dua dikalikan dua adalah empat. Sebenar matahari yang
selalu ingat di mana ia harus terbit juga tenggelam. Sebenar cinta Romeo yang
dikatakannya sejati pada Juliet.
Awalnya saya tidak pernah mengingkari hal tersebut. Cinta kita
sayang adalah benar adanya. Kamu mencintaiku dan tidak perlu kamu tanyakan hal
itu kembali padaku, sebab saya tahu cintaku tak pernah kalah besar dari
milikmu. Tetapi, selepas tiga tahun kemarin pernahkah sekalipun kita menanyakan
diri kita masing-masing, bahwa cukup benarkah cara kita mencintai satu sama
lain? Cukup benarkah kata cinta pun sayang yang selalu kita lontarkan hingga pada akhirnya membuat kita berdua lupa arti
dari kata tersebut? Kita tidak benar, Sayang. Tidak, saya tidak menyalahkan
siapa-siapa. Saya tidak ingin menjadi egois dalam hal ini. Hubungan kita
terdiri dari kamu dan saya, dan itu berarti kalaupun hubungan kita tidak
berjalan sesuai yang kita inginkan, (mungkin) letak kesalahannya ada pada kita
berdua.
Saat pernyataan cintamu yang pertama kali, pada detik saya
menganggukkan kepala atas pernyataanmu, saya telah (terlalu) yakin bahwa
kepadamulah semuanya bisa kuandalkan. Saya
meyakini kamulah lelaki kuat yang akan selalu mampu menahan hantaman-hantaman
demi melindungi saya dan juga kita. Maka pada saat percik-percik api mulai
terlontar dari mulut orang orang sekitar, saya yakin saya bisa mengabaikannya
karena saya punya kamu, kamu yang bisa menjaga hati saya agar tidak banyak
terisi oleh prasangka-prasangka yang belum benar adanya. Kamu menjaga hati saya
agar tidak hangus dilahap amarah. Tetapi sayang seribu sayang, ibu selalu benar
bahwa menjatuhkan harapan terlalu besar tidak akan memberikan kita apa-apa
kecuali rasa sakit yang juga luar biasa besarnya. Bahwa terkadang yang lihai
menyakiti ialah ia yang terlalu mencintai kita sendiri. Tak lama setelah
kebahagiaan kamu hadiahkan, perlahan harapan itu luntur satu per satu. Saya tidak
tahu itu karena saya yang tidak becus menjaga perasaan atau kepercayaan atau
karena kamu yang memang sengaja menghilangkan kesan indah yang kamu ciptakan di
hari pertama kita memutuskan untuk saling beriringan sembari menggenggam satu
sama lain. Saya tidak akan pernah tahu begitu juga dengan kamu.
Kita bertahan tanpa pernah menanyakan bahwa cinta kah yang
membuat kita bertahan atau hanya perasaan takut kehilangan sajakah? Kita
bertahan dengan kamu yang ternyata lebih suka menghitung detik daripada detak,
sehingga kadang acap kali saya bertanya pada diri sendiri, “Yang kamu buru saya atau waktu?” tetapi saya tetap diam demi
bisa memperhatikanmu meski terkadang, lebih sering kamu menganggap diamku
sebagai tanda saya sedang menghilang darimu. Tidak apa, saya tetap tersenyum. Saya
tetap cinta kamu. Lalu saya tetap diam karena saya tahu kamu lebih suka
didengarkan. Dan untuk bisa mendengarkanmu, saya harus mencipta keheningan. Saya
berhati-hati melontarkan kata, saya hitung kata demi kata yang terlontar agar
saya tidak kehilangan fokus lalu mengecewakanmu, sebab mengecewakanmu dulu
adalah sebuah pantangan. Tetapi lagi-lagi kamu menganggap itu semua tidak lebih
dari saya yang katamu sebenarnya tidak memperdulikanmu. Dan kamu tahu? Saya
tetap tersenyum. Saya tetap mencintaimu seperti saat pertama kita merayakan
euforia perasaan kita, tak takut apa
pun, tak akan menyerah terhadap apapun, katamu.
Dan saat kamu berubah, mengajariku terbiasa tanpa
kabarmu, mendikte kangenku hanya dengan kalimat, “sabar ya”, saya tetap di
hatimu, saya tetap menjadi orang yang paling cemas saat kamu mengabarkan bahwa
kamu sedang sakit dan saya tetap menjadi orang yang paling sering memelukmu
diam-diam dalam doa panjangku. Semua itu kulakukan hanya karena saya tahu, hati
dan pikiran saya masih menginginkan kamu. Bahwa peluhmu masih ada untuk kuusap,
begitu juga letihmu ada serupa tenaga untuk menopangku lebih kuat lagi.
Namun, hari ini selepas kita bersepakat menjadi asing satu
sama lain, pernahkah kita mencoba kembali bertanya, benarkah kita, Cinta?