Sabtu, 07 Mei 2016

AADC 2 dan Kesalahan yang Menyebabkan Kehilangan

Diposting oleh Ratu Nur Faradhibah di Sabtu, Mei 07, 2016 0 komentar


Kamis kemarin akhirnya saya berhasil menjadi salah satu orang yang merayakan euphoria film Ada Apa Dengan Cinta 2 yang legendaris itu. Berangkat dari rumah menuju bioskop, saya tidak terlalu memikirkan jalan cerita dari film ini sebenarnya. Lebih dari itu saya memikirkan kita; kamu dan saya. Entah, saya tidak tahu kenapa berbulan-bulan setelah perpisahan itu saya masih saja menyimpan kamu dengan rapi tidak hanya di otak tapi juga di dalam hati.
Sesampainya di bioskop dan bersabar dalam antrian kurang lebih 30 menit, saya dan teman-teman pun mendapatkan tiket menonton film Ada Apa Dengan Cinta 2 pas untuk pemutaran jam pertama. Yey! Akhirnya, saya berempat memasuki studio dan lekas mencari seat kami masing-masing. Tidak terlalu jauh dari layar pun tidak terlalu dekat. Setidaknya jaraknya cukup untuk memelototi wajah dingin Rangga atau sekedar melihat air mata Cinta yang terperangkap masa lalu.
Sebelum filmnya dimulai, saya sempat meminta beberapa lembar tissue milik teman di sebelah saya. Bukan karena ingin menangis, tapi saya sedang flu. Hahaha. Lima menit pertama saat film mulai diputar, saya menikmatinya dengan tenang, meskipun kadang diselingi olokan iseng dari teman di sebelah saya. Hingga memasuki bagian di mana Cinta dan ketiga sahabatnya memutuskan untuk berlibur ke Jogja, saya mulai berharap-harap cemas memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Iya, saya orangnya tetap seperti itu sayang, masih suka ‘tegang’. Dan tibalah pada bagian saat Cinta tahu kalau Rangga juga sedang berada di Jogja, di kota yang sama dengannya setelah diberitahu oleh Karmen, sahabatnya, saya mulai serius memperhatikan setiap detil dari percakapan dalam film ini.
“Buat apa ketemu lagi? Rangga itu udah kayak arsip di hidup gue. Udah gak perlu lagi dibuka.”
Hmm udah jadi arsip tapi itu berarti masih disimpan, kan?”
Percakapan itu terjadi antara Cinta dan sahabat-sahabatnya. Ketika saya mendengarnya, saya sempat tersenyum kecut, antara menertawakan kalimatnya dan juga mengiyakan dalam hati. Sesuatu yang kadang kita pikir telah kita buang jauh-jauh ternyata masih kita ingat jauh lebih baik dari sebelumnya. Seperti itu kan? Buktinya saja yang terjadi pada Cinta, ia selalu bersikeras bahwa tidak ada lagi yang perlu diselesaikan antara dirinya dan Rangga sebab menurutnya hal itu sudah berlalu, semuanya tidak lagi punya arti. Tapi who knows tentang apa yang terjadi selanjutnya.
Dan pada akhirnya, Rangga muncul di hadapan Cinta setelah kurang lebih sembilan tahun lamanya mereka berpisah. Jangan tanyakan bagaimana raut wajah Cinta ketika pertama kali melihat Rangga tepat di depan matanya. Tatapan mata yang penuh luka, benci, dan kecewa tapi juga menyiratkan masih ada rindu yang tertata rapi untuk lelaki itu. Detak jantung yang kecepatannya seolah-olah tak ingin kalah saing dari detik jarum jam yang terus berputar, membungkus momen pertemuan mereka. Semua itu menjadi saksi pertemuan bagi dua orang yang pernah saling membingkai perasaan satu sama lain.
Cinta yang masih tidak bisa menahan kemarahan akibat sakit hati yang diciptakan Rangga baginya membuat malam itu seketika porak-poranda. Cinta berlari meninggalkan Rangga yang masih mematung setelah mendengar pertanyaan Cinta, “Untuk apa kamu ke sini?”
Cinta menaruh perasaan kecewa luar biasa, ingatannya kembali pada saat Rangga memutuskannya secara sepihak yang tidak sekalipun memberikan Cinta kesempatan untuk bertanya lebih jelas alasan dari keputusan Rangga yang dinilainya sebagai sebuah keputusan yang lahir dari seorang ‘pecundang’ macam Rangga. Tangisnya pecah hingga kalimatnya yang tak terkontrol pun melukai hati sahabatnya sendiri, Karmen.
Dalam film ini, Rangga benar-benar melakukan kesalahan yang mengakibatkan ia harus kehilangan Cinta. Padahal ia tahu bahwa dirinya selalu menginginkan sosok Cinta dalam hidupnya. Hingga pada saat ia datang kembali, ingin memperbaiki semua yang telah ia kacaukan, Cinta telah memiliki hidupnya sendiri bersama orang yang baru.
Tetapi, cinta tetaplah cinta. Sekuat-kuat kau membencinya, hatimu masih akan selalu punya ruang untuknya, entah untuk sekedar mengetahui kabarnya atau bahkan untuk memaafkan apa yang telah ia lakukan padamu. Cinta tetaplah cinta, sekeras apa pun kau menyangkalinya, hatimu masih akan selalu menyimpan segala sesuatu tentangnya, mulai dari hal sekecil apa pun itu hingga hal yang paling membuatmu terkesan padanya.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan banyak menceritakan kisah rumit antara Cinta dan Rangga. Saya tahu kalau saya tetap melakukannya, tulisan saya ini bisa dituding sebagai sebuah spoiler. Dan itu yang harus saya hindari. Saya hanya menceritakan beberapa bagian yang sebenarnya membuat saya merasa seperti tertohok. Rasanya seperti ada pisau yang menancap begitu dalam di hati saya terlebih di bagian saat puisi dari kak Aan dibacakan oleh Rangga, “Kadang-kadang, kau pikir, lebih mudah mencintai semua orang daripada melupakan satu orang. Jika ada seseorang terlanjur menyentuh inti jantungmu, mereka yang datang kemudian hanya akan menemukan kemungkinan-kemungkinan.”
Kamu boleh menanyakan apa yang terjadi saat puisi itu terdengar. Saya harus membuang perasaan gengsi dan membiarkan air mata mengalir deras. Saya menangis, saya berhasil dibuat menangis oleh kutipan puisi kak Aan. Ingatan saya tiba-tiba terkunci oleh kamu. Kamu yang beberapa bulan belakangan ini masih enggan tersisihkan oleh siapa pun. Dan saya sadar bahwa apa yang saya lakukan ke kamu itu seperti apa yang dikatakan Cinta kepada Rangga; Jahat.
Mari kita telisik hal apa yang membuat saya tidak merasa jahat saat saya melepas kamu begitu saja hanya karena ayah tidak setuju soal kita. Saya tidak mengusahakan kamu, itu benar. Saya tidak memperjuangkan kamu, itu juga benar. Dan parahnya lagi, saya baru menyadari hal itu saat semuanya terlanjur terjadi. Saat mungkin kamu mulai ikhlas menerima keputusan saya dan memutuskan untuk membatukan hatimu dari segala pikiran tentang saya. Saya paham hal itu dan saya tidak punya kuasa apa pun untuk marah karena saya tahu, kamu sudah cukup memperjuangkan saya di saat saya sendiri tidak bisa melakukan apa yang seharusnya saya lakukan untuk kamu.
Tetapi, ada hal yang harus kamu ketahui sayang bahwa hidup ibarat lautan yang tidak pernah kita ketahui di mana ujungnya secara pasti. Oleh karena itu, dulu, saya suka sekali senyummu. Tidak sekedar suka tapi juga saya butuh senyum itu untuk dapat menegakkan layar yang akan membantu kapalku menuju lautan lepas. Jadi bisa kamu bayangkan bagaimana payahnya saya saat jauh dari matamu.
Kamu perlu tahu, tiga tahun yang kita lewati tidak pernah mudah menghilangkan kamu dari segala sesuatu yang mengingatkan saya kepadamu. Entah itu aroma parfum milikmu, makanan kesukaanmu, klub bola favoritmu dan bahkan lagu-lagu kesukaanmu juga kebiasaan kita yang penuh rasa sayang. Kamu adalah apa yang sebenarnya selalu dituju oleh baris-baris doaku, pastinya setelah ayah dan ibu.
Saya tahu ada banyak yang berubah, ada banyak yang berevolusi. Namun tidak dengan kenyataan. Kenyataan terlalu kaku untuk mengubah caranya menyadarkanku dengan tamparan. Kehilanganmu tidaklah pernah menjadi hal yang mudah. Oleh karena itu sengaja kucuri banyak metafora agar setidaknya sedihku pun bisa kamu nikmati.
Hingga hari ini, hari ke-58 di mana soreku kehilangan kamu. Bukan lagi saya yang menghangatkan diri pada lingkar lenganmu. Bukan lagi saya yang menari-nari di sela jemarimu yang fasih menjanjikan keamanan bagiku setiap berada di sampingmu. Bukan lagi denganku kamu menjelaskan panjang lebar tentang bagaimana ujian di kampus yang sudah kamu lewati, tentang bagaimana rencana kamu selanjutnya setelah lulus sebagai taruna muda. Bukan lagi denganku kamu berbagi tentang apa saja yang membuat harimu berat dan sebaliknya. Saya juga kamu banyak kehilangan. Tapi tenang, kamu tidak perlu repot-repot menanyakan soal kerinduanku untuk siapa. Kamu selalu menjadi orang yang paling tahu soal itu. Sebab kerinduanku padamu ibarat adzan subuh yang selalu berkumandang, membangunkanku tiap pagi.
Mungkin saat membaca tulisan ini, kamu bertanya untuk apa saya menulisnya. Sungguh, saya tidak punya maksud apa-apa dengan tulisan ini. Saya mengerti, kamu tahu kalau saya dari dulu pun senang menulis. Entah itu tentang kamu, tentang kita atau tentang apa saja yang ingin saya tulis. Dan saya menulis ini tidak lebih dari luapan rasa takut tentang penyesalan yang mungkin nantinya hadir di belakang hari, lalu setelah ingin memperbaiki semuanya, saya tidak lagi bisa sebab kamu mungkin sudah terlalu jauh di depan sana. Setidaknya saya bisa lebih jujur dalam menulis, mengungkapkan semua yang masih saya simpan sendiri hingga saat ini.
Semoga kamu selalu bahagia…..



Ps: Saya tidak ingin membuat perasaan saya terhadap kamu menjadi hina dengan tulisan ini yang mungkin kamu kira bisa membuat kamu luluh hingga memutuskan untuk memperbaiki lagi semuanya dari awal. Tidak sekalipun. Saya hanya menyampaikan apa yang harusnya kamu tahu, saya sayang kamu dan tidak berubah sedikit pun meski kamu sudah memutuskan untuk tidak memulai lagi dengan saya 


Sabtu, 16 April 2016

Benarkah Kita, Cinta?

Diposting oleh Ratu Nur Faradhibah di Sabtu, April 16, 2016 0 komentar
Kata seorang penulis terkenal yang selalu kukagumi, cinta itu benar adanya. Sebenar dua dikalikan dua adalah empat. Sebenar matahari yang selalu ingat di mana ia harus terbit juga tenggelam. Sebenar cinta Romeo yang dikatakannya sejati pada Juliet.

Awalnya saya tidak pernah mengingkari hal tersebut. Cinta kita sayang adalah benar adanya. Kamu mencintaiku dan tidak perlu kamu tanyakan hal itu kembali padaku, sebab saya tahu cintaku tak pernah kalah besar dari milikmu. Tetapi, selepas tiga tahun kemarin pernahkah sekalipun kita menanyakan diri kita masing-masing, bahwa cukup benarkah cara kita mencintai satu sama lain? Cukup benarkah kata cinta pun sayang yang selalu kita lontarkan hingga  pada akhirnya membuat kita berdua lupa arti dari kata tersebut? Kita tidak benar, Sayang. Tidak, saya tidak menyalahkan siapa-siapa. Saya tidak ingin menjadi egois dalam hal ini. Hubungan kita terdiri dari kamu dan saya, dan itu berarti kalaupun hubungan kita tidak berjalan sesuai yang kita inginkan, (mungkin) letak kesalahannya ada pada kita berdua.

Saat pernyataan cintamu yang pertama kali, pada detik saya menganggukkan kepala atas pernyataanmu, saya telah (terlalu) yakin bahwa kepadamulah semuanya bisa kuandalkan.  Saya meyakini kamulah lelaki kuat yang akan selalu mampu menahan hantaman-hantaman demi melindungi saya dan juga kita. Maka pada saat percik-percik api mulai terlontar dari mulut orang orang sekitar, saya yakin saya bisa mengabaikannya karena saya punya kamu, kamu yang bisa menjaga hati saya agar tidak banyak terisi oleh prasangka-prasangka yang belum benar adanya. Kamu menjaga hati saya agar tidak hangus dilahap amarah. Tetapi sayang seribu sayang, ibu selalu benar bahwa menjatuhkan harapan terlalu besar tidak akan memberikan kita apa-apa kecuali rasa sakit yang juga luar biasa besarnya. Bahwa terkadang yang lihai menyakiti ialah ia yang terlalu mencintai kita sendiri. Tak lama setelah kebahagiaan kamu hadiahkan, perlahan harapan itu luntur satu per satu. Saya tidak tahu itu karena saya yang tidak becus menjaga perasaan atau kepercayaan atau karena kamu yang memang sengaja menghilangkan kesan indah yang kamu ciptakan di hari pertama kita memutuskan untuk saling beriringan sembari menggenggam satu sama lain. Saya tidak akan pernah tahu begitu juga dengan kamu.

Kita bertahan tanpa pernah menanyakan bahwa cinta kah yang membuat kita bertahan atau hanya perasaan takut kehilangan sajakah? Kita bertahan dengan kamu yang ternyata lebih suka menghitung detik daripada detak, sehingga kadang acap kali saya bertanya pada diri sendiri, “Yang kamu buru  saya atau waktu?” tetapi saya tetap diam demi bisa memperhatikanmu meski terkadang, lebih sering kamu menganggap diamku sebagai tanda saya sedang menghilang darimu. Tidak apa, saya tetap tersenyum. Saya tetap cinta kamu. Lalu saya tetap diam karena saya tahu kamu lebih suka didengarkan. Dan untuk bisa mendengarkanmu, saya harus mencipta keheningan. Saya berhati-hati melontarkan kata, saya hitung kata demi kata yang terlontar agar saya tidak kehilangan fokus lalu mengecewakanmu, sebab mengecewakanmu dulu adalah sebuah pantangan. Tetapi lagi-lagi kamu menganggap itu semua tidak lebih dari saya yang katamu sebenarnya tidak memperdulikanmu. Dan kamu tahu? Saya tetap tersenyum. Saya tetap mencintaimu seperti saat pertama kita merayakan euforia  perasaan kita, tak takut apa pun, tak akan menyerah terhadap apapun, katamu.

Dan saat kamu berubah, mengajariku terbiasa tanpa kabarmu, mendikte kangenku hanya dengan kalimat, “sabar ya”, saya tetap di hatimu, saya tetap menjadi orang yang paling cemas saat kamu mengabarkan bahwa kamu sedang sakit dan saya tetap menjadi orang yang paling sering memelukmu diam-diam dalam doa panjangku. Semua itu kulakukan hanya karena saya tahu, hati dan pikiran saya masih menginginkan kamu. Bahwa peluhmu masih ada untuk kuusap, begitu juga letihmu ada serupa tenaga untuk menopangku lebih kuat lagi.


Namun, hari ini selepas kita bersepakat menjadi asing satu sama lain, pernahkah kita mencoba kembali bertanya, benarkah kita, Cinta? 

Jumat, 08 Januari 2016

Kita yang (Tak) Pernah Saling Melepaskan

Diposting oleh Ratu Nur Faradhibah di Jumat, Januari 08, 2016 0 komentar
Beberapa bulan setelah memilih jatuh cinta kepadamu lagi, ada satu hal yang kusadari bahwa kita serupa angka satu yang diam-diam saling memilih untuk berubah menjadi dua dengan cara bersama. Bahwa kemarin, ketika kita saling berjauhan, ada satu hal yang pasti bahwa soal perasaan, manusia hanyalah objeknya dan kehilangan adalah pelengkap. Setelah kehilangan mendera, perlahan kuketahui bahwa kita tak pernah benar-benar saling melepaskan. Kita hanya segelintir orang yang menjadikan kehilangan sementara sebagai tempat untuk menemukan apa yang selama ini tidak kita miliki dalam hubungan kita.

Rindu hari itu mungkin tak ubahnya seperti rumus penggugat sepi. Menuntut hadirmu lagi yang belakangan kusadari adanya bahwa denganmu, bahagia adalah apa yang kita putuskan untuk jalani, tanpa paksaan, tanpa dibuat-buat. Bahwa denganmu, dihargai adalah ketika jemarimu bertaut rapat dengan jemariku seolah-olah ingin menegaskan bahwa kamu tak pernah hilang saat dunia menyudutkanku dengan segenap masalah yang ada.

Dan semenjak hari itu, kubiarkan hati memilih yang mana yang pantas diajak bercengkrama hingga hari tua tiba. Berdua denganmu memilih menyingkirkan kerikil-kerikil tajam yang tak pernah ada habisnya yang akan terus menghalangi laju kita. Namun tak ada lagi ragu, sebab aku tahu lenganmu adalah sumber kekuatanku. Lenganmu sepaket dengan pelukanmu yang menggantikan kegetiran menjadi sebuah keyakinan bahwa bersama, cinta tak akan ada ujungnya.

Di sisi lain, cinta butuh kepercayaan yang besar hingga mungkin mampu meyakinkanmu bahwa bagi kita, jarak memang tak pantas menjadi pihak ketiga diantara kita. Oleh karena itu kutulis catatan ini sepintas saat sesal menghujam, menyentakkan kesadaranku bahwa harusnya cinta tak pernah mengenal lelah, jenuh, dan sebagainya.

Sayang, percayalah, masalah itu akan selalu ada sampai nanti ketika rumahku yang sesungguhnya bukan lagi hanya ayah dan ibu, tapi juga ada kamu yang membutuhkanku untuk memasakkan makanan kesukaanmu atau sekedar menyiapkan pakaian kerjamu. Tetapi, lagi-lagi harus kukatakan bahwa semoga kita akan terus menyatu karena hanya kamu yang membuat hari-hariku begitu menyita. Semoga kita akan terus saling beriringan karena hanya kamu yang bisa memberitahu jalan mana yang harus kupilih di antara beberapa jalan yang mungkin punya seribu ranjau berbahaya.


Setelah ini, tak dapat kupungkiri bahwa kamu akan kembali pergi. Namun ada keyakinan yang terselip bahwa setelah kejadian kemarin, kita bisa lebih kuat. Pergilah, bagai uap yang nantinya akan kembali berupa hujan. Sirami rindu dengan air mata haru bukan dengan air mata kekesalan atau air mata kejenuhan. Pupuklah rindu di hati yang akan menuntun kita menuju masa depan yang selalu kita inginkan bukan hanya angankan. Percayalah, sekuat-kuat hati mencari, ia akan selalu pulang ke rumah yang mampu berdiri sendiri. 
 

Ratu Faradhibah Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei