Selamat memasuki hari keempat menulis surat cinta! Selamat menulis!
Meskipun tahun ini saya terlambat untuk ikut program #30hariMenulisSuratCinta,
saya tahu bahwa saya harus tetap menulis. Iya, karena ada banyak cinta yang
tidak sampai kepada orang yang seharusnya. Maka dari itu, semoga dengan menulis
surat, cinta yang tidak sampai atau rindu yang bertepuk sebelah tangan adanya
bisa sampai dengan selamat kepada tuannya.
Dini hari, Makassar masih disetubuhi oleh hujan. Hujan deras sekali, mungkin sedang mencapai tingkat orgasmenya yang paling tinggi. Sekali dua
kali aku mencoba memejamkan mata untuk tidur dan bermimpi di bawah selimut
kesukaanku. Kamu tahu kan selimut kesukaanku? Iya, selimut yang warna merah
jambu. Lembut dan hangat seperti pelukmu. Namun, sepertinya aku kembali
mengalami gangguan sulit tidur sebab sudah hampir dua jam meringkuk di bawah
selimut tetapi kedua mataku masih saja membelalak ke sana kemari, seolah
mencari sesuatu yang janggal di dalam kamar tidurku sendiri. Siapa tahu di
sudut kamar ada yang sedang berdiri memandangiku atau siapa tahu di bawah
kolong tempat tidur ada sepasang tangan yang bergelayut mencari-cari tangan
lain yang bisa ia genggam. Hii! Tidak...tidak...kuusir jauh-jauh rasa takut
yang berlebih, kucoba memikirkan sesuatu yang lebih menarik. Dan apalagi selain
kamu?
02.40. Jam dinding terus berdetak cepat, seolah-olah ia sedang jatuh cinta.
Entah pada jam yang mana ia jatuh cinta, aku tidak tahu. Tiba-tiba, ada yang
meluncur pelan dari pelupuk mataku. Mengalir...membentuk sungai kecil di ceruk
pipiku yang kuperhatikan semakin hari semakin melebar saja. Mungkin pengaruh
liburan? Atau mungkin pengaruh rindu yang berlebih? Entahlah.
Aku menangis, tangisan pertama di tahun 2015. Kuberitahu padamu, menangis
dalam gelap malam dan dalam keadaan sendiri itu tidak pernah mengenakkan.
Sesak, seperti ada yang mengganjal di dalam dada, tapi aku sendiri tidak pernah
tahu apa gerangan yang ada di dalam sana. Tetapi, seperti biasanya, kubiarkan
ia mengalir, mencari ‘hulu’ tempat ia bermuara. Sedang aku sibuk menerka-nerka,
kepada siapa tangis ini ditujukan?
Lalu aku teringat ayah. Sebelum tidur, aku sempat beradu mulut dengan ayah.
Perihal ketidak-disiplinanku dalam mengatur waktu. Ya, aku memang terlalu
banyak main akhir-akhir ini, sampai-sampai aku melupakan beberapa kewajibanku. Namun,
aku adalah anak sulung dengan ego yang besar adanya. Sewaktu ayah memarahiku,
aku tidak pernah tinggal diam. Aku membantah ini-itu dan apa saja alasanku
untuk menyatakan bahwa perkiraannya salah. Sampai aku lelah dan memutuskan
untuk masuk ke kamar...mengunci diri selama beberapa jam tanpa sepatah kata
pun. Ayah pun turut bungkam. Kami tidak berbicara sampai beranjak ke tempat
tidur masing-masing.
Aku tahu aku salah, tetapi terkadang egois melampaui besarnya rasa bersalah
kita sehingga kita menyadarinya nanti....di belakang hari. Aku tahu ayah punya
maksud yang baik, ayah selalu ingin aku tumbuh menjadi perempuan yang disiplin,
dengan time-manage yang bagus sehingga tidak ada satupun kegiatan yang
keteteran. Tetapi, di satu sisi, aku selalu berpikir bahwa aku masih muda,
pelan-pelan saja agar semuanya bisa kunikmati satu per satu. Ayah terlalu
mengekangku sehingga ia lupa bahwa aku adalah aku, yang sebentar lagi memasuki
usia ke 20 tahun dan itu berarti aku bukan lagi anak kecil. Aku punya hak
menentukan apa pun dalam hidupku.
Iya, seperti itulah ayah; tegas untuk beberapa hal yang memang menurutnya
patut untuk ditegasi. Namun, ayah tetaplah ayah. Marah seperti apa pun, aku
tetap sayang. Sebab cinta yang tulus hanyalah darinya juga ibu. Sebab gurat-gurat
lelah yang tercipta di wajahnya tak lain dan tak bukan karena berjuang memenuhi
kebutuhanku, kebutuhan ibu, dan juga kebutuhan kedua adikku. Sebab setiap
harapan yang ia gantung setinggi langit, pada akhirnya ia wasiatkan kepadaku
dan juga kedua adikku. Aku selalu ingat acap kali ayah berkata, “Ayah sudah
tua, pun ibu. Kalau pun ada beberapa hal yang belum ayah dan ibu wujudkan
semasa hidup, itu menjadi tanggung jawab kalian untuk mewujudkannya.” Iya, ayah
dan ibu semakin hari semakin menua. Rambut putihnya sudah ada di mana-mana,
sifat pelupanya tak dapat disangkali, pandangannya yang semakin mengabur
sehingga harus bergantung pada kacamata, dan kesehatan yang sesekali dikalahkan
oleh beberapa penyakit. Aku menyadarinya. Dan terkadang, aku menitikkan air
mata. Apa ayah dan ibu masih ingin menungguku untuk meraih apa yang selama ini
selalu aku katakan di depan mereka? Apa ayah dan ibu masih ingin menunggu
hingga tiba waktunya mereka berjalan di sampingku, mengapit aku yang
menggunakan toga di atas kepala? Apa ayah dan ibu masih ingin menunggu hingga
tiba waktunya ayah menjabat tangan lelaki lain yang ingin ‘merebut’ tanggung
jawabnya selama ini atasku dan ibu yang melepaskan aku menuju ‘rumah’ yang
baru? Apa ayah dan ibu masih ingin menunggu setahun...dua tahun setelah
itu...aku membawakan mereka cucu-cucu yang lucu yang mungkin selama ini mereka
impikan? Aku ingin mereka masih di sampingku, berjalan beriringan menyaksikan
proses demi proses dalam hidupku, menyaksikan segala pencapaian yang sebenarnya
kuhadiahkan untuk mereka. Dan semoga Tuhan berbaik hati mengabulkan
keinginanku.
Tetapi lagi-lagi aku egois. Hanya melalui surat ini, aku mengucap maaf
kepada ayah. Sebab aku terlalu besar untuk berlari ke pelukannya dan meminta
maaf atas kesalahanku. Sebab aku sebenarnya terlalu malu untuk melakukan hal
itu. Namun, percayalah, maafku adalah sesuatu yang tulus untuknya. Meski pun hanya
lewat surat ini.
2 komentar:
Jarang-jarang nemu surat puitis gini, hebat kak :)
Terima kasih sudah mampir, Dek :)
Posting Komentar