Senin, 02 Februari 2015

Ayah dan Tangis di Malam Hari

Diposting oleh Ratu Nur Faradhibah di Senin, Februari 02, 2015
Selamat memasuki hari keempat menulis surat cinta! Selamat menulis! Meskipun tahun ini saya terlambat untuk ikut program #30hariMenulisSuratCinta, saya tahu bahwa saya harus tetap menulis. Iya, karena ada banyak cinta yang tidak sampai kepada orang yang seharusnya. Maka dari itu, semoga dengan menulis surat, cinta yang tidak sampai atau rindu yang bertepuk sebelah tangan adanya bisa sampai dengan selamat kepada tuannya.
Dini hari, Makassar masih disetubuhi oleh hujan. Hujan deras sekali, mungkin sedang mencapai tingkat orgasmenya yang paling tinggi. Sekali dua kali aku mencoba memejamkan mata untuk tidur dan bermimpi di bawah selimut kesukaanku. Kamu tahu kan selimut kesukaanku? Iya, selimut yang warna merah jambu. Lembut dan hangat seperti pelukmu. Namun, sepertinya aku kembali mengalami gangguan sulit tidur sebab sudah hampir dua jam meringkuk di bawah selimut tetapi kedua mataku masih saja membelalak ke sana kemari, seolah mencari sesuatu yang janggal di dalam kamar tidurku sendiri. Siapa tahu di sudut kamar ada yang sedang berdiri memandangiku atau siapa tahu di bawah kolong tempat tidur ada sepasang tangan yang bergelayut mencari-cari tangan lain yang bisa ia genggam. Hii! Tidak...tidak...kuusir jauh-jauh rasa takut yang berlebih, kucoba memikirkan sesuatu yang lebih menarik. Dan apalagi selain kamu?
02.40. Jam dinding terus berdetak cepat, seolah-olah ia sedang jatuh cinta. Entah pada jam yang mana ia jatuh cinta, aku tidak tahu. Tiba-tiba, ada yang meluncur pelan dari pelupuk mataku. Mengalir...membentuk sungai kecil di ceruk pipiku yang kuperhatikan semakin hari semakin melebar saja. Mungkin pengaruh liburan? Atau mungkin pengaruh rindu yang berlebih? Entahlah.
Aku menangis, tangisan pertama di tahun 2015. Kuberitahu padamu, menangis dalam gelap malam dan dalam keadaan sendiri itu tidak pernah mengenakkan. Sesak, seperti ada yang mengganjal di dalam dada, tapi aku sendiri tidak pernah tahu apa gerangan yang ada di dalam sana. Tetapi, seperti biasanya, kubiarkan ia mengalir, mencari ‘hulu’ tempat ia bermuara. Sedang aku sibuk menerka-nerka, kepada siapa tangis ini ditujukan?
Lalu aku teringat ayah. Sebelum tidur, aku sempat beradu mulut dengan ayah. Perihal ketidak-disiplinanku dalam mengatur waktu. Ya, aku memang terlalu banyak main akhir-akhir ini, sampai-sampai aku melupakan beberapa kewajibanku. Namun, aku adalah anak sulung dengan ego yang besar adanya. Sewaktu ayah memarahiku, aku tidak pernah tinggal diam. Aku membantah ini-itu dan apa saja alasanku untuk menyatakan bahwa perkiraannya salah. Sampai aku lelah dan memutuskan untuk masuk ke kamar...mengunci diri selama beberapa jam tanpa sepatah kata pun. Ayah pun turut bungkam. Kami tidak berbicara sampai beranjak ke tempat tidur masing-masing.
Aku tahu aku salah, tetapi terkadang egois melampaui besarnya rasa bersalah kita sehingga kita menyadarinya nanti....di belakang hari. Aku tahu ayah punya maksud yang baik, ayah selalu ingin aku tumbuh menjadi perempuan yang disiplin, dengan time-manage yang bagus sehingga tidak ada satupun kegiatan yang keteteran. Tetapi, di satu sisi, aku selalu berpikir bahwa aku masih muda, pelan-pelan saja agar semuanya bisa kunikmati satu per satu. Ayah terlalu mengekangku sehingga ia lupa bahwa aku adalah aku, yang sebentar lagi memasuki usia ke 20 tahun dan itu berarti aku bukan lagi anak kecil. Aku punya hak menentukan apa pun dalam hidupku.
Iya, seperti itulah ayah; tegas untuk beberapa hal yang memang menurutnya patut untuk ditegasi. Namun, ayah tetaplah ayah. Marah seperti apa pun, aku tetap sayang. Sebab cinta yang tulus hanyalah darinya juga ibu. Sebab gurat-gurat lelah yang tercipta di wajahnya tak lain dan tak bukan karena berjuang memenuhi kebutuhanku, kebutuhan ibu, dan juga kebutuhan kedua adikku. Sebab setiap harapan yang ia gantung setinggi langit, pada akhirnya ia wasiatkan kepadaku dan juga kedua adikku. Aku selalu ingat acap kali ayah berkata, “Ayah sudah tua, pun ibu. Kalau pun ada beberapa hal yang belum ayah dan ibu wujudkan semasa hidup, itu menjadi tanggung jawab kalian untuk mewujudkannya.” Iya, ayah dan ibu semakin hari semakin menua. Rambut putihnya sudah ada di mana-mana, sifat pelupanya tak dapat disangkali, pandangannya yang semakin mengabur sehingga harus bergantung pada kacamata, dan kesehatan yang sesekali dikalahkan oleh beberapa penyakit. Aku menyadarinya. Dan terkadang, aku menitikkan air mata. Apa ayah dan ibu masih ingin menungguku untuk meraih apa yang selama ini selalu aku katakan di depan mereka? Apa ayah dan ibu masih ingin menunggu hingga tiba waktunya mereka berjalan di sampingku, mengapit aku yang menggunakan toga di atas kepala? Apa ayah dan ibu masih ingin menunggu hingga tiba waktunya ayah menjabat tangan lelaki lain yang ingin ‘merebut’ tanggung jawabnya selama ini atasku dan ibu yang melepaskan aku menuju ‘rumah’ yang baru? Apa ayah dan ibu masih ingin menunggu setahun...dua tahun setelah itu...aku membawakan mereka cucu-cucu yang lucu yang mungkin selama ini mereka impikan? Aku ingin mereka masih di sampingku, berjalan beriringan menyaksikan proses demi proses dalam hidupku, menyaksikan segala pencapaian yang sebenarnya kuhadiahkan untuk mereka. Dan semoga Tuhan berbaik hati mengabulkan keinginanku.

Tetapi lagi-lagi aku egois. Hanya melalui surat ini, aku mengucap maaf kepada ayah. Sebab aku terlalu besar untuk berlari ke pelukannya dan meminta maaf atas kesalahanku. Sebab aku sebenarnya terlalu malu untuk melakukan hal itu. Namun, percayalah, maafku adalah sesuatu yang tulus untuknya. Meski pun hanya lewat surat ini. 

2 komentar:

Bukan Blog Biasa on 2 Februari 2015 pukul 14.25 mengatakan...

Jarang-jarang nemu surat puitis gini, hebat kak :)

Ratu Nur Faradhibah on 3 Februari 2015 pukul 07.30 mengatakan...

Terima kasih sudah mampir, Dek :)

Posting Komentar

 

Ratu Faradhibah Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei