How’s life today?
Seharusnya itu yang pertama kali kutanyakan saat kamu tiba di rumah selepas
kerja. Lalu setelah itu, aku yakin kau akan bercerita panjang lebar tentang
pekerjaanmu di kantor, tentang kemacetan Ibukota, tentang resepsionis kantor
yang mungkin cantik (?), atau tentang apa saja yang menjadi pengisi harimu di
sana setelah kita tidak lagi dalam satu kota yang sama.
Iya, seharusnya. Namun tidak kulakukan. Sebab aku tahu, kamu terlalu sibuk
dan terlalu capek untuk menceritakan pengalamanmu di setiap harinya. Terkadang di
sela-sela waktu kita saling bbm-an,
kamu jatuh tertidur. Aku mengerti, mencoba memaklumi. Terkadang di sela-sela
keseruan kita bercerita di bbm, kamu
menghilang entah ke mana. Aku lagi-lagi mengerti, berusaha keras memaklumi.
Kamu sibuk.
Kita sibuk.
Dan perubahan-perubahan itu ada.
Kita tidak lagi menyediakan waktu untuk ‘kita’. Kita hanyalah sepasang yang
saling bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan masing-masing, bersama siapa,
dan di mana dalam bentang jarak yang bukan sekedar jarak seperti antara ruang
tidurku dan kamar mandi. Bukan. Kita banyak berubah. Mulai dari kehilangan
waktu bercerita berdua, waktu jalan-jalan berdua, dan segala yang pernah kita
lewati bersama selama kurang lebih setahun belakangan ini. Tetapi, seseorang
dalam akun Twitternya pernah berkata, “Suatu waktu kita akan saling tahu, cinta
tidak melulu soal rindu. Tapi pikiran-pikiran yang ingin kita tuju.” Iya, dia
benar. Kurang lebih enam bulan kita tidak sekota dan tidak pernah bertemu,
membuatku kadang berpikir panjang bahwa cinta tidak melulu soal pertemuan atau
laporan kangen yang menye-menye adanya. Tetapi cinta terkadang perihal
pikiran-pikiran, rencana-rencana yang telah kita susun dari nol hingga
sekarang, hingga hubungan ini hampir dua tahun adanya. Sebab, dengan mengingat
hal tersebut, aku kembali sadar bahwa tidak seharusnya aku menuntut macam-macam
kepadamu. Aku seharusnya menyemangatimu setiap harinya, hingga nanti kamu sadar
bahwa aku adalah malam yang menunggu paginya dan seterusnya akan begitu.
Tetapi, ingatkah kamu bahwa aku adalah perempuan?
Perempuan dengan segala keterbatasan.
Perempuan dengan segala prasangka pun gelisah yang terkadang tak bisa
terkontrol.
Perempuan yang terkadang masih juga kalah dengan emosi sesaat.
Perempuan yang pandai mengatakan, “Tidak, tidak ada, dan tidak apa-apa.”
Iya, aku begitu perempuan. Dan
terkadang, di sela waktu yang ada, seseorang pernah mengatakan padaku, “Kamu
pantas dipeluk, bukan oleh lengan yang tidak peduli bagaimana perasaanmu. Kamu
pantas digenggam erat-erat, bukan oleh tangan yang hobi mengabaikanmu.” Dari
situ, pertahananku sempat ingin goyah. Namun, kugelengkan kepalaku. Tidak, aku
masih berada dalam lengan yang benar. Hanya saja, lengan itu untuk saat ini
berjarak denganku. Tetapi, rasa lengan itu tetap sama, tetap hangat dan
melindungi. Hanya saja, lengan itu kini punya kesibukan yang lain. Bukan hanya
untuk merengkuh, memeluk, atau menarikku lebih dekat dengannya, tetapi juga
lengan itu kini berusaha mewujudkan sebuah impiannya.
Sibuklah! Sibuklah hingga kamu sadar bahwa kamu masih tetap punya aku
sebagai ‘rumah’ tempat kembali setelah seharian berlalu-lalang di luar sana.
Sibuklah! Sibuklah hingga kamu sadar bahwa di sini ada perasaan yang tabah
menunggu Tuannya pulang.
2 komentar:
Tiap hari jadi keterusan baca suratnya nih :)
Duh! Terima kasih ya :))
Posting Komentar